folklor Struktur Cerita “Okesa Si Penari”

Posted by joko yulianto Rabu, 18 April 2012 0 komentar
Nama   : Putri Rahayuningtyas
NIM    : 117835033
Prodi S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra (Konsentrasi Bahasa Asing)
Foklor Jepang :
Okesa Si Penari
Dahulu kala ada sepasang orang tua yang mempunyai seekor kucing mungil, yang mereka pelihara dengan penuh kasih sayang. Kemudian pasangan itu jatuh miskin, dan harus hidup dengan sengsara sekali. Pada suatu hari si kucing kecil meminta permisi untuk pulang ke tempat asalnya sebentar saja, dan ia pun gaib dari pandangan. Beberapa saat kemudian ia kembali lagi, tetapi dalam wujud seorang gadis yang cantik sekali. Ia pun menerangkan kepada kedua orang tua itu, bahwa ia telah hidup bersama mereka untuk waktu lama, dan telah menerima kasih sayang mereka. Kini ia kembali dalam bentuk seorang gadis cantik untuk membantu mereka. Ia pun mengorbankan dirinyadengan menjadi seorang geisha, agar dapat menghasilkan uang bagi kedua orang tua itu.
Namanya Okesa. Ia sangat populer, dan banyak orang yang ingin melihatnya. Akan tetapi pada suatu hari, seorang pemilik kapal telah melihatnya dalam bentuk aslinya sedang menjilati minyak lampu dimana mengambang sumbunya. Ia sadar bahwa ia telah diintip orang. Lalu ia berkata : “saya sangat khawatir karena engkau telah melihat identitas asli saya, dan saya memohon agar engkau tidak membuka rahasia ini”.
Keesokan harinya pemilik kapal membawa kapalnya menuju Hokkaido, lalu di hadapan para penumpang  yang banyak jumlahnya, ia membuka rahasia yang seharusnya ia simpan dengan baik. Segera awan gelap menutupi langit,dan langit pun berubah menjadi gelap. Seekor kucing besar terlihat melompat dari langit dan membawa pergi si pemilik kapal yang usil mulut itu.
Struktur Cerita “Okesa Si Penari”
Alur Cerita :
1)      Sepasang orang tua memelihara kucing mungil dengan penuh kasih sayang.
2)      Sepasang orang tua tersebut jatuh miskin dan menjadi sengsara.
3)      Si kucing mungil gaib dari pandangan (menghilang) dan berubah menjadi seorang gadis cantik.
4)      Si gadis berkorban untuk membantu sepasang orang tua tersebut dengan menjadi seorang geisha.
5)      Si gadis menjadi populer dan menghasilkan banyak uang.
6)      Suatu saat ada seorang pemilik kapal yang melihat sosok asli dari si gadis tersebut ketika menjilati minyak lampu dimana mengambang sumbunya.
7)      Si gadis memahon kepada pemilik kapal untuk tidak membuka rahasianya.
8)      Keesokan harinya, si pemilik kapal bertemu dengan penumpang yang banyak dan ia membuka rahasia yang seharusnya ia simpan dengan baik.
9)      Si pemilik kapal mendapat balasan karena membuka rahasia yang seharusnya ia simpan dan ia pun di bawa pergi oleh si kucing.
Terem :
a          : sepasang orang tua
a1        : kucing mungil/ seorang gadis cantik
b          : si pemilik kapal
b1        : para penumpang

Fungsi :
x          : keburukan
x1        : jatuh miskin
x2        : sengsara
x3        : mengintip
x4        : membuka rahasia

y          : kebaikan
y1        : kasih sayang
y2        : berkorban
y3        : membantu
y4        : populer dan menghasilkan uang
y5        : permohonan untuk tidak membuka rahasia

z          : keadilan
z1        : balasan
z2        : si pemilik kapal hilang
Kode N = okesa si penari
Alur cerita dapat digambarkan :
N = {(a+a1)y1} : (a)x1 :: (a)x2 : : (a1)a-1 : (a1)  z1.y3 :: (a1)y2 : (a1)y4 :: (b)x3 : (a1)y5 :: { (b)x4 + (b1)} : (a1)z1 :: (b)z2
            Sepasang orang tua memelihara seekor kucing mungil dengan penuh kasih sayang. Suatu hari sepasang orang tua itu jatuh miskin dan menjadi sengsara. Si kucing mungil tiba-tiba menghilang dan berubah menjadi seorang gadis cantik. Si gadis cantik membalas kasih sayang sepasang orang tua itu dengan membantu dan berkorban menjadi geisha. Si gadis menjadi populer dan menghasilkan banyak uang. Suatu hari, ada seorang pemilik kapal yang mengintipnya ketika ia menjilati minyak lampu yang mengambang sumbunya. Si gadis memohon kepada pemilik kapal untuk tidak membuka rahasianya. Keesokan harinya, si pemilik kapal bertemu dengan penumpang yang banyak dan ia membuka rahasia yang seharusnya ia simpan dengan baik. Si pemilik kapal mendapat balasan karena membuka rahasia yang seharusnya ia simpan dan ia pun di bawa pergi oleh si kucing.

Kalau dilihat dari segi tokohnya maka alur cerita itu akan tampak sebagai berikut :
N = {(a+a1)} :: (a1)a-1 :: {(b)+(b1)} : (a1) :: (b)
            Sepasang orang tua memelihara kucing. Kemudian kucing berubah menjadi seorang gadis cantik dan membalas kasih sayang dengan menjadi geisha. Si gadis ketika dalam wujud aslinya bertemu dengan seorang pemilik kapal. Si gadis memohon agar si pemilik kapal merahasiakan siapa jati diri si gadis sebenarnya. Pemilik kapal bertemu dengan penumpang yang banyak dan membuka rahasia yang seharusnya ia simpan.  Karena membuka rahasia yang seharusnya ia simpan, pemilik kapal mendapatkan balasan yaitu dibawa pergi oleh si kucing dan ia pun menghilang.
Jika dilihat dari segi fungsinya :
N = (y1) : (x1) :: (x3) : {(z1y3)} : (y2) :: (y4) : (x3) :: (y5) : (x4) :: (z1.2)
Fungsi kebaikan dan keadilan lebih besar dari pada fungsi keburukan.
(a+a1)y1 + (a1)z1.y3 + (a1)y 2.3.4.5 + (a1)z1 + (b)z2 > (a)x 1.2+ (b)x 3.4
Di sini fungsi kebaikan dan keadilan terhadap hakikat hidup manusia tampak sangat menonjol. Sesuai dengan kodrat hidup bahwa segala sesuatu yang diperoleh seseorang sebenarnya merupakan hasil perbuatannya sendiri.
Hal ini tampak jelas pada  :
Kasih sayang sepasang orang tua terhadap kucing mungil peliharaannya dan hasilnya adalah si kucing membalas budi mereka.
Karena mendapatkan kasih sayang dari sepasang orang tua itu maka si kucing membantu sepasang orang tua itu untuk mendapatkan uang.
Sedangkan tindakan si pemilik kapal yang membuka rahasia si kucing mendapatkan balasan dan mengakibatkan ia dibawa pergi oleh si Kucing ke dunia lain dan menghilang.
Maksud cerita yang bertujuan untuk mengetahui bahwa suatu kebaikan yang dilakukan akan mendapat balasan yang setimpal. Penutur juga mengharapkan agar kita dapat memetik suri tauladan dari isi cerita ini bahwa dilarang membuka rahasia yang luar biasa dan seseorang akan dibawa ke dunia lain, karena melanggar larangan.
Pelaku :
  1. Sepasang orang tua, penuh kasih sayang.
  2. Si kucing mungil/ gadis cantik, rela berkorban demi membalas budi baik.
  3. Si pemilik kapal, tidak dapat menjaga rahasia.

Bahasa Laki-Laki dan Perempuan dalam Bahasa Jepang

Posted by joko yulianto Minggu, 15 April 2012 0 komentar


Bahasa  Laki-Laki dan Perempuan dalam Bahasa Jepang
Emiko Watanabe (117835601)
a.            Pendahuluan
                Dalam bahasa Jepang terdapat dua buah dialek sosial yang berbeda berdasarkan diferensiasi jender penuturnya yaitu ragam bahasa perempuan (joseigo, onna kotoba) dan ragam bahasa laki-laki (danseigo, otoko kotoba). Meskipun kedua ragam bahasa ini sedikit demi sedikit hilang karena oleh perubahan zaman, tetapi ada bagian yang masih tetap bertahan dan dipakai oleh masyarakat penutur bahasa Jepang hingga sekarang. Kalau zaman dulu laki-laki Jepang pasti menggunakan bahasa laki-laki, tetapi pada zaman sekarang ada banyak anak perempuan SMP dan SMA yang menggunakan bahasa laki-laki. Demikian juga pada zaman dulu perempuan menggunakan bahasa perempuan, tetapi kalau zaman sekarang perempuan yang menggunakan bahasa perempuan adalah perempuan yang bersifat sopan dan lembut, dan kadang-kadang ada laki-laki yang menggunakan bahasa perempan juga.
                Memang pada suasana tuturan formal seperti pada acara rapat, seminar, simposium, dan kegiatan formal lainnya sama sekali tidak bisa terdengar kedua ragam bahasa ini. Tetapi pada percakapan sehari-hari yang tidak resmi kadang-kadang bisa terdengar pemakaian bahasa ini dari orang-orang Jepang pada kalangan tertentu. Demikian juga pada saat perkenalan atau pertemuan pertama dengan orang Jepang, percakapan dilakukan dengan menggunakan ragam standar. Tetapi semakin lama  bergaul dengan orang Jepang, terutama apabila hubungan dengan orang Jepang sudah sangat akrab, sedikit demi sedikit akan terjadi perubahan variasi bahasa yang dipakai termasuk ke dalam ragam bahasa wanita dan ragam bahasa laki-laki. Tidak sedikit kedua ragam bahasa tersebut dipakai dalam novel karena kalau menggunakan bahasa laki-laki dan perempuan sangat mudah dipahami tokoh dalam novel ini laki-laki atau perumpuan.
                Dalam makalah ini, akan dibahas tentang sejarah, jenis, peran bahasa laki-laki dan perempuan, dan perubahan bahasa perempuan dan laki-laki oleh perubahan zaman.


b.            Pembahasan
                Jender merupakan perbedaan jenis kelamin laki-perempuan yang dibentuk secara sosial dan kultural (Tadao, 1995 : 911). Dari zaman dulu di Jepang laki-laki sering dikatakan cepat mengambil keputusan, rasional, egois, atau agresif. Sementara perempuan sering dikatakan lemah, lembut, sopan santun, pasif, dan penuh perhatian.  Laki-laki dan perempuan masing-masing dilambangkan dengan kanji yang berbeda. Laki-laki dilambangkan dengan huruf yang mengandung unsur kanji yang berarti ‘sawah’ dan ‘tenaga’ yang menggambarkan perannya sebagai orang yang bekerja sekuat tenaga memproduksi padi di sawah untuk menyokong kehidupan bangsa guna membangun negara. Pekerjaan mulia ini dianggap milik laki-laki walaupun pada kenyataannya banyak juga perempuan yang turut bekerja di sawah. Berbeda dengan laki-laki, perempuan ditulis dengan huruf yang melambangkan orang yang sedang menari. Hal ini memberi gambaran sosok wanita yang berperan sebagai penghibur orang (laki-laki). Seolah-olah mereka dijadikan objek kesenangan atau kepuasaan orang yang melihatnya.
                Dalam pembentukan kata pun perempuan terlihat tidak mendapat prioritas utama. Kata danjo (Laki-Perumpuan) tidak dapat diubah menjadi jodan dengan harapan mendahulukan unsur perempuannya. Sama dengan danjo, kata-kata fubo (ayah-ibu), fuufu (suami-istri) tidak bisa dibalikkan menjadi bofu, fufuu. Kata fukei yang berarti orang tua/wali murid berasal dari kata chichi (ayah) dan ani (kakak laki-laki). Begitu juga kata kyoodai yang berarti keluarga/saudara berasal dari kata ani (kakak laki-laki) dan otooto (adik laki-laki). Walaupun fukei berarti ‘orang tua/wali murid’ dan kyoodai berarti ‘keluarga/saudara’ namun di dalamnya tidak terkandung unsur ‘perempuan’ baik ibu, kakak perempuan, maupun adik perempuan.
                Seperti ditulis di atas, dari zaman dulu di Jepang sangat jelas dibedakan posisi, peran laki-laki dan perempuan, maka dibentuk bahasa laki-laki dan perempuan. Namun, kedua ragam bahasa ini berubah terus dengan arus zaman. Asal bahasa laki-laki yang sering dipakai sekarang adalah bahasa Samurai Zaman Edo (Edo-Jidai). Samurai ( atau ) adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata "samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa Jepang kuno, berubah menjadi "saburau" yang berarti "melayani", dan akhirnya menjadi "samurai" yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan. Ciri khas bahasa laki-laki adalah variasi kata ganti pertama. Misalnya, “Ore”, “Boku”, “Washi”, “Oira” dan lain-lain. Kara ganti pertama dalam bahasa perempuan adalah “Watashi” dan “Watakushi”. Dilihat dari aspek pemakaian akhir kalimat terdapat beberapa perbedaan antara yang dipakai laki-laki dan yang dipakai perempuan. Di dalam ragam bahasa laki-laki dipakai seperti zo, ze, kai, dazo, daze, sedangkan di dalam ragam bahasa perempuan dipakai kashira, wa, wayo, wane, no, noyo, none, dan kotoyo. Zo, ze, kai, dazo, daze, dan sebagainya dalam ragam bahasa laki-laki merefleksikan maskulinitas penuturnya sebagai insan yang sangat tegas, berani, kuat, penuh percaya diri, penuh kepastian, atau cepat dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan partikel-partikel itu, partikel-partikel kashira, wa, wayo, wane, no, noyo, none, koto, dan kotoyo yang dipakai dalam ragam bahasa perumpuan menjadikan bahasa yang diucapkan lemah lembut dan tidak menunjukkan ketegasan atau kekuatan. Partikel-partikel itu dipakai untuk menghaluskan atau melemahkan pendapat, kesimpulan, keputusan, pikiran, atau pertanyaan penuturnya sehingga mereka terkesan ramah tamah dan sopan santun. Dalam penggunaan kata benda juga perbedaan bahasa laki-laki dan perempuan sangat jelas. Dalam bahasa Perempuan di depan kata benda menggunakan “O”. Misalnya, “Sushi” menjadi “Osushi”, “Cha(teh)” menjadi “Ocha”, “Hana(bunga)” menjadi “Ohana” dan lain-lain. Dalam bahasa sopan juga, terlihat perbedaan bahasa laki-laki dan perumpuan.
                Seperti ada di atas, dari zaman dulu bahasa Jepang dibagi bahasa laki-laki dan perempuan dengan jelas. Akan tetapi, sedikit demi sedikit fenomina tersebut berubah dengan arus zaman. Dulu peran perempuan Jepang adalah menjaga rumah sebagai ibu rumah tangga. Namun, zaman sekarang perempuan pun bisa bekerja seperti laki-laki. Peran perempuan dan laki-laki tidak seperti dulu, maka bahasa antara laki-laki dan perempuan juga berubah. Banyak perempuan Jepang yang muda tidak mau menggunakan bahasa perempuan. Bahasa laki-laki menjadi bahasa Jepang yang sering dipakai oleh orang Jepang, baik laki-laki maupun perempuan zaman sekarang.


c.             Simpulan
                Bahasa mengrefleksikan lingkungan masyarakat. Begitu juga bahasa Jepang, yang mengandung nilai-nilai seksis, dapat merefleksikan nilai-nilai, sikap, atau pandangan masyarakat Jepang terhadap laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, dengan arus zaman bahasa perempuan jaran dipakai oleh perempuan Jepang karena peran perempuan juga berubah. Perempuan bukan hanya bekerja di rumah lagi. Perubahan itu ada sisi positif dan sisi negatif. Sisi positif adalah perempuan bisa mendapatkan kebebasan seperti laki-laki. Sedangkan sisi negatif adalah menghilang kebudayaan tradisional.


Daftar Pustaka

Nihongo Daijiten, Tadao, Umesao Kodansha, 1995, Tokyo.
Jyosei-go, http://ja.wikipedia.org/wiki/%E5%A5%B3%E6%80%A7%E8%AA%9
Samurai, http://ja.wikipedia.org/wiki/%E4%BE%8D
Nihongo no kokoro, Yumiko Yamada, Hikari 1985, Tokyo

Gaya Berkomunikasi, Bahasa Batita & Anak

Posted by joko yulianto 0 komentar
Gaya Berkomunikasi Batita Ida dan Anak Rifqi

A.  Pendahuluan
Dalam kehidupannya, manusia tidak akan pernah lepas dari menggunakan bahasa untuk berkomunikasi guna memenuhi segala keperluan hidupnya. Begitu juga dengan batita dan anak. Awal penggunaan bahasa pada manusia sebenarnya dimulai sejak tangis pertama bayi sebab tangis bayi juga dapat dianggap sebagai bahasa bayi atau anak. Dengan menangis, bagi anak merupakan sarana mengekspresikan kehendak jiwanya. Karena pada dasarnya, fungsi bahasa antara lain meliputi aspek ekspresi, sosial, dan intensional atau sarana untuk menunjukkan atau membanggakan sesuatu (Ahmadi, 2005: 95).
Penguasaan bahasa berikutnya pada batita dan anak akan mengikuti bakat, ritme perkembangan yang dialami, dan lingkungannya (meliputi: lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan sekitar tempat tinggal). Setiap batita dan anak akan selalu mengalami beberapa tahapan perkembangan bahasa sampai mencapai penguasaan bahasa yang sempurna sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh lingkungan sekitarnya.
Cara pemakaian bahasa setiap orang berbeda-beda dan itu berlaku juga untuk batita dan anak. Antara batita dan anak yang satu dengan yang lain pasti berbeda dalam menggunakan bahasa yang dikuasainya. Perbedaan tersebut  dapat kita lihat dari segi lagu atau intonasinya, diksi, susunan kalimatnya, cara mengemukakan idenya, dan sebagainya. Dengan kata lain, setiap individu pasti berbeda dari segi fonetik fonemiknya (Haryono, 2006: 14). Keadaan tersebut biasanya disebut ideolek.
Ideolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan (2010:62). Ideolek  tampak pada saat berkomunikasi dengan orang lain. Perbedaan ideolek menurut Turner disebut stilistika (Pradopo, 2004 dalam Haryono, 2006:31). Stilistika adalah bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa (Haryono, 2006:31).  Style diartikan sebagai teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang digunakan sebagaimana ciri pribadi pemakainya (Aminuddin, 1995:119). Dalam makalah ini, akan dibahas penggunaan gaya berkomunikasi batita dan anak. Subjek yang digunakan adalah batita Ida yang berusia 3 tahun dan anak Rifqi yang berusia 6 tahun.



B.  Pembahasan
1.    Tahap Perkembangan Bahasa Batita dan Anak
Anak prasekolah adalah anak yang berada pada usia 2;0 - 6;0 tahun (Tarigan, 1995: 27). Masa ini juga disebut juga masa kanak-kanak awal terbentang antara usia 2 sampai 6 tahun (Gunarsa, 2002:27). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak prasekolah merupakan anak usia batita s.d usia anak-anak.
Karakteristik bahasa anak usia prasekolah secara umum meliputi kemampuan berbahasa lisan pada anak berkembang sejalan dengan pematangan organ-organ bicara,  fungsi berpikir,  dan lingkungan ikut mengembangkan (Tarigan, 1995: 27). Kemudian dijelaskan oleh William Stern (Ahmadi, 2005: 96) tahap perkembangan bahasa anak, meliputi;
1.    prastadium (umur 0;6 - 1,0 tahun) merupakan tahap meraban yaitu keluar suara yang belum berarti, tunggal, dan terutama huruf-huruf bibir,
2.    masa pertama (umur 1;0 – 1; 6 tahun) merupakan tahap penguasaan kata yang belum lengkap,
3.    masa kedua (umur 1;6 – 2;0 tahun) merupakan tahap mulai menyadari segala sesuatu mempunyai nama dan sering menanyakan nama benda,
4.    flexio/menafsirkan (umur 2;0 -2;6 tahun) merupakan tahap mulai menggunakan kata-kata yang dapat ditafsirkan atau kata yang sudah diubah, mampu menyusun kalimat pendek, dan dapat membandingkan,
5.    masa keempat (umur 2;6 – ke atas) merupakan tahap dapat merangkaikan pokok kalimat dan mulai bertanya sebab akibat. Sedangkan menurut Pateda (1990:65) usia
anak prasekolah dan perkembangan bahasanya diklasifikasikan sebagai berikut:
1.    prasekolah usia 2;0 - 3;0 tahun (masa penamaan). Pada masa ini karakteristik perkembangan bahasa anak, antara lain; (a) pertumbuhan bahasa terjadi dengan cepat, (b) anak belajar mengenali dan menamai atau menyebut/memberi nama tindakan-tindakan dalam gambar, (c) anak belajar mengenali bagian-bagian tubuh yang besar dan kecil, (d) anak baru mampu menirukan urutan bunyi kata tertentu tetapi ia belum mampu memaknainya. Pengucapan kata mama, papa, makan, minum oleh anak karena proses peniruan bunyi yang pernah didengarnya. Melalui proses ini, anak melakukan penamaan atau mengenal benda, peristiwa, kejadian dengan melakukan pengujaran bunyi kata tertentu.


2.    prasekolah usia 3;0 - 4;0 tahun. Masa kedua ini disebut oleh Pateda (1990: 67) sebagai tahap perkembangan kombinatori yaitu anak sudah menggunakan bahasa dalam berbagai bentuk dan mampu menggabungkan preposisi menjadi kalimat  tunggal. Pada masa ini terdapat 4 ciri pokok bahasa dan perkembangan bahasa anak-anak, yaitu; (a) kosakata atau perbendaharaan anak berkembang meningkat sampai kira-kira 1500 kata,  (b) mampu mengembangkan kemampuan menggunakan kata penunjuk waktu, (c) bahasa digunakan sebagai alat untuk memahami dunia mereka, (d) ujaran atau tuturan semakin rumit, kompleks dengan menggunakan kata keadaan, kata ganti, dan kata depan yang kian banyak, (e) anak mulai mampu berbicara secara teratur dan terstruktur, (f) bicara anak dapat dipahami oleh orang lain dan anak sanggup merespon baik positif atau negatif atas pembicaraan lawan bicaranya, (g) bahasa yang digunakannya menunjukkan aturan atau tata bahasa sendiri, dan (h) kalimat yang diujarkan sudah mengarah pada kalimat pendek dan sederhana.
3.      Prasekolah usia 4;0 - 5;0 tahun. Pada tahap ini, anak mempunyai ciri-ciri sebagai berikut; (a) bahasa semakin abstrak, menghasilkan kalimat yang baik dan benar secara gramatikal, serta kosakata yang dikuasai sekitar 2500 kata, (b) sudah memahami dan menggunakan preposisi seperti di atas, di bawah, di luar, di muka, di belakang, ke atas, dari atas, (c) sering mengajukan berbagai pertanyaan terutama sekali yang berkaitan dengan mengapa, kenapa, bagaimana.
4.      Prasekolah usia 5;0 - 6;0 tahun (taman kanak-kanak). Ciri-ciri yang tampak pada tahap ini, antara lain; (a) semakin sering menggunakan kalimat kompleks, mulai memakai pronomina dan verba secara tepat,  dan berkosakata sekitar 6000 kata , (b) sering ambil bagian dalam kegiatan sehari-hari dan memproduksi tuturan mengenai fungsi kehidupan sehari-hari dalam lingkungan keluarga, penggunaan di warung, teman sepermainan, dll, (c) ingin sekali mengetahui dan melihat bentuk penampilan tertulis mengenai bahasa mereka sendiri dan suka mengubah bahasa lisan menjadi bahasa tulis. Dinyatakan juga oleh Gunarsa (2002:12) ciri khas bahasa anak prasekolah pada tahap ini meliputi: (1) pemahaman anak pada pembicaraan orang lain, (2) menyusun dan menambah perbendaharaan kata, (3) menggabungkan kata menjadi kalimat, (4) mengucapkan dengan baik dan benar.  Pada tahap ini, anak usia 4;0 - 6;0 sudah mempunyai keinginan untuk bersekolah (Suhartono, 2005:53).
Dengan demikian, nyatalah bahwa batita dan anak mempunyai tahapan-tahapan dalam kemampuan perkembangan dan penguasaan bahasa yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli meskipun setiap ahli tersebut berbeda dalam pengklasifikasiannya. Setiap tahapanan perkembangan dan penguasaan bahasa oleh batita dan anak mempunyai ciri-ciri khusus. Setiap batita dan anak akan mengalami tahapan yang berbeda satu dengan lainnya berdasarkan pengaruh dari pematangan organ-organ bicara,  fungsi berpikir,  dan lingkungan di sekitarnya.
2.    Gaya Berkomunikasi
Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa (Teguh, 2009: 16). Dalam stilistika,  terdapat pelbagai pilihan kata-kata (diksi) yang digunakan oleh penulis atau penutur  untuk menyampaikan gagasannya. Penulis atau penutur menggunakan diksi tertentu karena dianggap oleh penulis atau penutur dengan menggunakan pilihan kata-kata (diksi) tersebut lebih tepat digunakan atau diaplikasikan daripada diksi yang lain sehingga tujuan berkomunikasi (merayu, mengajak, membujuk, memohon, dll.) dapat tercapai.[1]
Faktor-faktor yang mempengaruhi variasi gaya atau stilistik, antara lain;
1.    bentuk gaya yang relatif permanen, meliputi; individualitas, dialek atau idiolek, dan waktu,
2.    penyampaian gagasan, meliputi; sarana dan partisipasi,
3.    bentuk gaya yang relatif temporer, meliputi; wilayah kerja, status, modalitas, dll.
( Leech, 2003: 26). 
Komunikasi adalah proses pengiriman dan penerimaan informasi atau pesan antara dua orang atau lebih dengan cara yang efektif  sehingga pesan yang dimaksud dapat dimengerti (Kadir, 2010: 14). Dalam penyampaian atau penerimaan informasi, ada dua pihak  yang terlibat yaitu penutur dan petutur. Penutur dalam komunikasi disebut komunikator yaitu orang atau kelompok orang yang menyampaikan informasi atau pesan, sedangkan petutur disebut komunikan yaitu orang atau kelompok orang yang menerima pesan  (http://id.shvoong.com/internet-and-technologies/blog/2035974-pengertian-komunikasi).
Dengan demikian, gaya berkomunikasi  merupakan penggunaan diksi tertentu oleh seorang penutur atau komunikator pada saat menyampaikan tuturannya (berupa pesan atau informasi) kepada petutur atau komunikan. Dalam makalah ini, yang dimaksudkan sebagai penutur adalah subjek penelitian yaitu batita Rifdah dan anak Rifqi.
3.    Karakteristik Batita Rifdah dan Anak Rifqi
1.    Karakteristik Batita Rifdah
Batita Rifdah Azzara Salwa yang biasa dipanggil Ida merupakan anak tunggal dari kedua orang tuanya yang bersuku Jawa. Ida dilahirkan di Surabaya, 20 Februari 2009 dengan bahasa ibu (B1) bahasa Jawa dialek Surabaya dan bahasa Indonesia. Ida mempunyai saudara sepupu bernama Rifqi dan Roja.  
2.    Karakteristik Anak Rifqi
Anak Rifqi yang bernama lengkap Rifqi Safa Nabil dilahirkan di Sangatta, 14 Februari 2006. Rifqi merupakan anak ke-2 dan memiliki satu orang saudara kandung yang biasa dia panggil dengan sebutan Kakak. Dia merupakan anak yang menggunakan bahasa ibu (B1) bahasa Indonesia dengan bapaknya bersuku Banjar dan ibunya bersuku Jawa. Semua anggota keluarga selalu memanggil Rifqi dengan sebutan Adik dan jarang sekali menyebut namanya.
4.    Gaya Berkomunikasi Batita Ida dan Anak Rifqi
1.    Gaya Berkomunikasi Batita Ida
Sampai dengan usianya yang ke-3 tahun, Ida masih belum dapat mengucapkan suatu kalimat utuh meskipun sederhana. Ia hanya dapat mengucapkan satu kata dan itupun tidak jelas pelafalannya. Misalnya; budhe dilafalkan /edhe/, kakak dilafalkan /akak/, pakdhe dilafalkan /adhe/.
Ketika berkomunikasi dengan orang lain, Ida lebih menggunakan gerakan tangan dengan menunjuk barang atau sesuatu yang dia inginkan sambil menggerak-gerakkan badannya apabila lawan bicaranya tidak mengerti yang dia maksudkan. Jika lawan bicaranya masih juga tidak mengerti, Ida akan mengeluarkan kata-kata yang tidak jelas dari mulutnya, dan jika lawan bicaranya masih juga tidak mengerti, ia akan menangis dan teriak-teriak karena jengkel. Ida sering menganggukkan kepala jika yang ia maksudkan sesuai dengan keinginannya dan menggelengkan kepala jika lawan bicaranya tidak mengerti yang dia maksudkan.  
Ida dapat  mengerti sepenuhnya apa yang dibicarakan dan dikehendaki lawan bicaranya.Contohnya; ketika lawan bicaranya mengatakan ambilkan sapu dengan segera ia mengambil sapu, ketika lawan bicaranya mengatakan antarkan kecap ini ke budhe Ina pasti dia antarkan kecap tersebut ke budhe Ina bukan ke budhe Nia karena dia mempunyai dua budhe yang tinggal dekat dengannya.
2.    Gaya Berkomunikasi Anak Rifqi
Pada saat berkomunikasi dengan anggota keluarga lain, Rifqi selalu menyebut dirinya Adik dan tidak pernah menyebut namanya kecuali jika ditanya siapa namanya oleh orang lain dan itupun jarang ia mau menjawabnya. Pada saat berkomunikasi dengan saudara kandungnya, ia selalu menyebut Kakak dalam kondisi apapun (senang, sedih,  marah, berkelahi, dll.). Akibatnya, teman-teman sepermainannya mengira bahwa namanya adalah Adik dan saudara kandungnya adalah Kakak.   
Jika menanyakan sesuatu, ia sering menggunakan kalimat interogatif yang meminta pengakuan jawaban  “ya”. Contohnya: Adik tidak merusakkan bukunya, ya kan Kak?, ya kan Buk?, ya kan Da? (sesuai dengan lawan bicaranya).  Bagian yang bergaris selalu ia katakan setiap ingin menegaskan sesuatu. Kalimat interogatif adalah kalimat yang mengharapkan adanya jawaban secara verbal  berupa pengakuan, keterangan, alasan atau pendapat dari pihak pendengar atau pembaca (Chaer, 2009:189).
Sesuai dengan usianya, Rifqi sering mengajukan berbagai pertanyaan terutama sekali yang berkaitan dengan mengapa, kenapa, bagaimana. Contohnya; Kenapa kok bisa gempa di Aceh?
Dalam menggunakan suatu kalimat pertanyaan, Rifqi selalu menggunakan partikel –kah diakhir kalimat. Contohnya; Bolehkah Adik beli es itu?.

C.  Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan:
1.    Cara pemakaian bahasa setiap orang berbeda-beda dan itu berlaku juga untuk batita  Rifdah dan anak Rifqi.
2.     Ideolek merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan dan disebut stilistika yang tampak pada saat berkomunikasi dengan orang lain.
3.    Karakteristik bahasa anak usia prasekolah secara umum meliputi kemampuan berbahasa lisan pada anak berkembang sejalan dengan pematangan organ-organ bicara,  fungsi berpikir,  dan lingkungan ikut mengembangkan.
4.    Batita dan anak akan melampaui beberapa tahap perkembangan bahasa.

*****

Daftar Pustaka

Ahmadi, Abu.2005.Psikologi Perkembangan. Jakarta:  PT. Rineka Cipta
Chaer, Abdul.2009.Sintaksis Bahasa Indonesia(Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta
___________.2010.Sosiolinguistik:Perkenalan Awal. Jakarta:  PT. Rineka Cipta
Gunarsa, Singgih D.2002.Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.Jakarta: PT BPK Gunung Mulia
Haryono, Akhmad.2006.Pola Komunikasi Antarkomunitas Pesantren Salaf “A” di Jember.Surabaya: UNESA (Tesis)
Kadir, Abdul.2010.Tuturan Taklangsung dalam Komunikasi Anak Usia Prasekolah di Play Group Melati Kids Purwosari Kabupaten Pasuruan.Surabaya: UNESA (Tesis)
Leech, Geoffrey.1993.Prinsip-Prinsip Pragmatik.Jakarta: Universitas Indonesia
_______________.2003.Semantik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pateda, Mansoer.1990.Aspek-Aspek Psikolinguistik.Ende-Flores: Nusa Indah
Suhartono.2005.Pengembangan Keterampilan Bicara Anak Usia Dini.Jakarta: Depdiknas Dirjendikti
Supriyanto, Teguh.2009.Stilistika dalam Prosa.Jakarta: Pusat Bahasa
Tarigan, Hendry Guntur.1995. Bahasa Anak Prasekolah.Jakarta: Rieneka Cipta



[1] Leech (2003) Semantik.Yogyakarta: Pustaka Pelajar


Pragmatik sebagai Pemecah Masalah

Posted by joko yulianto 0 komentar

Pragmatik sebagai Pemecah Masalah

A.  Pendahuluan
Pragmatik mencakup kegiatan pemecahan masalah antara penutur atau penulis (selanjutnya disebut  n) dengan petutur atau pembaca (selanjutnya disebut t). Pada saat berkomunikasi, bagi n masalahnya ialah perencanaan, misalnya; apakah yang harus saya ucapkan agar t mengerti, mau menerima bahkan kemudian mau melaksanakan apa yang saya ucapkan ? Sedangkan bagi t masalahnya ialah interpretasi, misalnya; apakah yang dimaksudkan dengan tuturan (selanjutnya disebut T) n ?, apakah alasan n yang masuk akal dengan mengucapkan T  tersebut?, Apakah yang harus t lakukan setelah n mengucapkan T ?, dll. Pembahasan masalah tersebut dikemukakan dalam postulat pragmatik ke-5 dan  akan diuraikan dalam makalah ini.

B.  Pembahasan
Postulat pragmatik ke-5 menyatakan persesuaian-persesuaian gramatik dibatasi dengan pemetaan;  sedangkan persesuaian-persesuaian  pragmatik dibatasi dengan aneka masalah beserta pemecahannya (Tarigan, 1994: 24). Jika ditinjau dari persesuaian-persesuaian gramatik, T yang dikemukakan oleh n dapat dipetakan berdasarkan makna bunyi sesuai dengan kaidah tata bahasa yang berlaku dalam bahasa yang digunakan oleh n. Jika ditinjau dari persesuaian-persesuaian pragmatik, T yang dikemukakan oleh n tersebut memerlukan prosedur pemecahan masalah yang membutuhkan  intelegensi manusia untuk menafsirkannya sesuai dengan situasi dan konteksnya [1].
 Gambaran postulat di atas dapat dilihat berdasarkan ilustrasi berikut ini:
Tempat       : di dalam kelas
Situasi         : seorang ibu guru sedang sibuk menerangkan materi pelajaran
Ibu Guru     : “Papan tulisnya sudah penuh dengan tulisan Saya, ya?”
Murid 1      : “He...yang piket lho”
Murid 2      : “Bukan saya kok yang piket hari ini!”
Murid 3      :”Dasar pemalas semua! Aku saja yang tidak piket hari ini mau menghapus
                     papan tulis”(sambil berdiri, menuju papan tulis, dan menghapus tulisan yang
                     ada di papan tulis).


Jika dilihat dari persesuaian-persesuaian gramatik, tuturan ibu guru (selanjutnya disebut T1) dapat dipetakan berdasarkan makna bunyi yaitu ibu guru (selanjutnya disebut n1)  mengatakan kepada murid-muridnya bahwa papan tulis yang ada dihadapannya sudah penuh dengan tulisannya. Jika dilihat dari persesuaian-persesuaian pragmatik, T1 memerlukan prosedur pemecahan masalah yaitu keharusan murid-murid yang ada di kelas tersebut untuk menghapus tulisan yang ada di papan tulis meskipun tidak dinyatakan secara eksplisit oleh n1.  Terbukti, ada seorang murid yang mau menghapus tulisan di papan tulis meskipun teman-temannya saling melemparkan tanggung jawab untuk menghapus tulisan tersebut. T1  membutuhkan  intelegensi manusia –dalam hal ini para murid yang ada di kelas tersebut- untuk menafsirkannya sesuai dengan situasi dan konteksnya yaitu sudah menjadi kebiasaan di kelas tersebut yang bertugas menghapus tulisan di papan tulis adalah yang piket hari itu.
Postulat Pragmatik ke-5 terdiri atas dua bagian, yaitu;
1.    tugas penutur dipandang dari sudut analisis cara-tujuan
Analisis ini mempresentasikan sebuah masalah dan pemecahannya dalam bentuk gambar 1 sebagai berikut:

2
 
Diamond: 1                                       G
                          
                                                                                      
                                       a

Keterangan gambar:
1= keadaan awal (individu merasa dingin)
2= keadaan akhir (individu merasa hangat)
G=tujuan untuk mencapai keadaan 2 (menjadi hangat)
a=tindakan (menyalakan alat pemanas)
Ketika n merasa dingin (keadaan awal), n mengatakan kepada t agar menyalakan alat pemanas. Mendengar kalimat n, t kemudian menyalakan alat pemanas sehingga n merasa hangat (keadaan akhir).

3
 
Diamond: 1Berikut ini gambar 2 yang merupakan analisis cara-tujuan yang agak rumit, yaitu;
  
                                                                               Nyalakan alat pemanas!
                                   G
                  a      
Pentagon: 2                                                               b         
  

              
                          
  Keterangan gambar:
1=keadaan awal (n merasa dingin)
2=keadaan tengahan (t mengerti bahwa n ingin alat pemanas dinyalakan)
3=keadaan akhir (n merasa hangat)
G=tujuan mencapai keadaan 3 (menjadi hangat)
a=tindakan n mengatakan kepada t agar alat pemanas dinyalakan
b=tindakan t menyalakan alat pemanas
Keadaan tengahan mencakup, antara lain; (i) pencapaian tujuan sekunder, dan (ii) kondisi untuk mencapai tujuan akhir. Keadaan tengahan merupakan keadaan akhir bagi suatu tujuan dekat dan merupakan keadaan awal bagi suatu tujuan kemudian. (Leech, 1996: 57).
Gambar 2 merepresentasikan pencapaian tujuan yang tidak langsung yaitu memakai bahasa sebagai cara untuk mencapai suatu tujuan tersirat. Gambar 2 bisa juga disebut tindak ujar taklangsung. Searle (dalam Leech, 1996: 57) mengatakan bahwa tindak ujar taklangsung adalah ‘tindak ilokusi yang dilakukan dengan tidak langsung melalui suatu tindak ilokusi lain’. Dengan demikian, kalimat ‘Nyalakan alat pemanas!’ merupakan cara yang tidak langsung untuk mencapai suatu tujuan akhir karena diarahkan kepada suatu tujuan sekunder dulu.
Gambar 3 berikut ini menunjukkan bagaimana tujuan suatu ujaran dapat dicapai melalui ilokusi-ilokusi yang lebih tidak langsung lagi.
 

                       G1
                            GPS
4
 
Diamond: 1                                                    G                                                                                      
                                                                                                               Dingin di sini,
                                                                                                               bukan?
 


                           a                                                                      c

Pentagon: 3Pentagon: 2                                                               b
                                                  


keterangan gambar:
1          =keadaan awal (n merasa dingin)
2          =keadaan tengahan (t mengerti bahwa n merasa dingin)
3          =keadaan tengahan (t mengerti bahwa n ingin alat pemanas dinyalakan)
4          =keadaan akhir (n merasa hangat)
G         =tujuan untuk mencapai keadaan 3 (menjadi hangat)
GPS        =tujuan untuk menaati PS/pesan
G1          =tujuan-tujuan lain (tidak dirinci)
a          =tindakan n berupa tuturan n bahwa udaranya dingin
b          =tindakan t berupa menyimpulkan/menafsirkan bahwa n ingin agar t menyalakan
                        alat pemanas
c          =tindakan t menyalakan alat pemanas
Interpretasi gambar tersebut merupakan tuturan yang mengandung implikatur n ingin agar t menyalakan alat pemanas sehingga memunculkan b yaitu tindakan t berupa menyimpulkan/menafsirkan bahwa n ingin agar t menyalakan alat pemanas. Interpretasi di atas bukan satu-satunya tafsiran dari kalimat ‘Dingin di sini, bukan?’ Mungkin saja kalimat tersebut diucapkan sekedar basa-basi, tanpa tujuan tertentu, atau hanya untuk memelihara hubungan sosial. Dengan ketidakjelasan ini, t bertanggung jawab untuk menafsirkan apakah kalimat tersebut mengandung daya perintah atau tidak sehingga dalam gambar tersebut menimbulkan G dan GPS. Apalagi kenyataannya, manusia sering mengatakan suatu tuturan agar tujuannya dapat tercapai tanpa melanggar prinsip kerja sama, hubungan sosial dapat terpelihara dengan baik, kesopanan, dll.
Analisis di atas diterapkan pada penggunaan bahasa secara komunikatif. Tujuan dan maksud dalam suatu tuturan memang disengaja meskipun tuturan/wacana yang diungkapkan seringkali tidak dirancanakan atau disadari terlebih dahulu. Jadi, tujuan di sini merupakan keadaan yang mengatur perilaku individu.  
2.    tugas petutur dipandang dari sudut analisis heuristik
Heuristik merupakan tugas pemecahan masalah yang dihadapi petutur dalam menginterpretasikan sebuah tuturan. Heuristik berusaha mengidentifikasi daya pragmatik sebuah tuturan dengan merumuskan beberapa hipotesis kemudian mengujinya berdasarkan data-data yang tersedia. Jika hipotesis tidak teruji, akan dibuat hipotesis yang baru sampai akhirnya tercapai suatu pemecahan ( berupa hipotesis yang teruji kebenarannya dan tidak bertentangan dengan evidensi/kenyataan yang ada). Analisis heuristik dapat dijelaskan dengan menggunakan siklus pemecahan masalah sebagai berikut:
1.  Problem       2. Hipotesis        3. Pemeriksaan       4. Interpretasi
                                                                                 
                                                                         Pengujian berhasil

                                                 Pengujian gagal
Siklus pemecahan masalah di atas dapat juga dinyatakan dengan:
   n mengatakan kepada t  suatu tuturan
Daya tuturan di atas dapat diuraikan sebagai berikut:
i.   maksud n ialah agar t mengetahui tuturan yang dikemukakannya
ii.    n yakin bahwa tuturan yang dikemukakannya diketahui oleh t (disebut Maksim Kualitas)
iii.  n yakin bahwa t tidak mengetahui tuturan yang dikemukakannya (disebut Maksim Kuantitas)
iv.  n yakin bahwa sebaiknya t mengetahui tuturan yang dikemukakannya.
Jika hipotesis di atas diasumsikan benar dan n menaati PK, hipotesis tersebut akan diikuti oleh beberapa konsekuensi bersyarat ii s.d iv. i  harus diikuti oleh ii agar n tidak berbohong dan tidak melanggar  Maksim Kualitas. i  juga harus diikuti iii agar t mendapatkan informasi baru dari n sehingga tidak melanggar Maksim Kuantitas. iv juga harus ada  untuk menunjukkan bahwa n menuturkan sesuatu yang gayut dengan situasi sehingga tidak melanggar Maksim Hubungan.
Jika konsekuensi-konsekuensi di atas sesuai dengan konteksnya, hipotesis tersebut dapat diterima. Apabila satu atau lebih konsekuensi di atas bertentangan, hipotesis tersebut harus ditolak kemudian mempertimbangkan beberapa kemungkinan lainnya. Hipotesis berikutnya yang akan diuji harus berupa hipotesis yang paling dekat dengan beberapa evidensi yang sudah diamati.
Dalam interpretasi pragmatik, proses pemecahan masalah dapat berlangsung sangat otomatis, tidak dilakukan dengan sadar, dan bukan hasil pemikiran eksplisit. Konteks sangat berpengaruh terhadap interpretasi pragmatik. Interpretasi pragmatik merupakan cara berpikir deduktif yaitu hipotesis dirumuskan terlebih dahulu kemudian beberapa konsekuensi dimunculkan. Dengan demikian, interpretasi pragmatik melalui analisis heuristik, implikatur-implikatur percakapan dapat direncanakan, dipecahkan masalahnya, dan diganti dengan argumentasi sehingga daya dapat ditentukan dari makna tanpa bantuan konvensi-konvensi manasuka.

C.  Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan:
1.      Postulat pragmatik ke-5 menyatakan persesuaian-persesuaian gramatik dibatasi dengan pemetaan;  sedangkan persesuaian-persesuaian  pragmatik dibatasi dengan aneka masalah beserta pemecahannya.
2.    Postulat pragmatik ke-5  terdiri atas dua bagian, yaitu; (1) tugas penutur dipandang dari sudut analisis cara-tujuan, dan (2) tugas petutur dipandang dari sudut analisis heuristik.

Daftar Pustaka

Dep.Dik. Nas.2005.Kamus Besar Bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka
Leech, Geoffrey. 1996. Principles of Pragmatics. London: Longman
Tarigan, Hendry Guntur. 1994. Pengajaran Pragmatik.Bandung: Angkasa







 


[1] Leech (1996) Principles of Pragmatics. London: Longman