Variasi Bahasa dan Kelas Sosial
Selasa, 19 Juni 2012
0
komentar
Variasi Bahasa dan Kelas Sosial
A. Variasi
Bahasa
Variasi bahasa terjadi oleh karena
amat luas wilayah pemakaiaannya dan bermacam-macam penuturnya. Interaksi antara
satu orang dengan orang yang lainnya yang berbeda, faktor sejarah, dan
perkembangan masyarakat membawa berpengaruh pada bahasa sehingga berubah
menjadi berbagai ragam. Jadi keragaman itu adalah mau tidak mau, merupakan
konsekwensi dari hukum alam.
Dalam hal variasi bahasa ini ada dua
pandangan. Pertama, variasi itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial
penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi bahasa itu
terjadi sebagai akibat dari adanya keragaman sosial dan keragaman fungsi
bahasa. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai
alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Kedua pandangan
ini dapat saja diterima ataupun ditolak. Yang jelas, variasi bahasa itu dapat
diklasifikasikan berdasarkan adanya keragaman sosial dan fungsi kegiatan
didalam masyarakat sosial. Namun Halliday membedakan variasi bahasa berdasarkan
pemakai (dialek) dan pemakaian (register).
Jenis Ragam Bahasa
Berbagai sumber merincikan ragam
bahasa. Ada yang merincikannya dengan membedakan dalam berbagai aspek. Pertama,
berdasarkan daerah penggunanya. Ragam daerah sejak lama dikenal dengan nama
logat atau dialek. Bahasa yang menyebar luas selalu mengenal logat.
Masing-masing dapat dipahami secara timbal balik oleh penuturnya; sekurang-kurangnya
oleh penutur dialek yang daerahnya berdampingan. Jika wilayah pemakaiannya
orang tidak mudah berhubungan, misalnya karena dipisahkan oleh pegunungan,
selat, atau laut, maka lambat-laun logatnya akan membentuk ragam bahasa baru.
Ragam logat/dialek dengan sendirinya
erat hubungannya dengan bahasa ibu si penutur. Ciri-ciri yang meliputi tekanan,
turun-naiknya nada, dan panjang-pendeknya bunyi bahasa membangun aksen yang
berbeda. Logat daerah paling kentara karena tata bunyinya. Logat Indonesia yang
dilafalkan oleh orang Tapanuli dan Ambon dapat dikenali karena tekanan kata
yang amat jelas.
Sikap penutur terhadap aksen penutur lain
berbeda-beda. Aksen itu dapat disenangi dan/atau tidak disenangi. Umumnya dapat
dikatakan bahwa kita berlapang hati terhadap kelainan aksen orang selama
bahasanya masih dapat dipahami. Mungkin hal ini sebagai pengaruh atas
penguasaan bahasa itu yang belum terlalu lama, hingga saat ini masih belum ada
proses penyatuan logat yang jelas.
Kedua, berdasarkan tingkat pendidikan
penutur. Ragam bahasa menurut pendidikan formal menunjukkan perbedaan yang
jelas antara kaum yang berpendidikan formal dan yang tidak. Tatabunyi bahasa
golongan yang kedua berbeda dengan tatabunyi kaum terpelajar. Dalam bahasa
Indonesia, misalnya, bunyi /f/ dan akhiran /-ks/, misalnya, tidak selalu
terdapat dalam ujaran orang yang tidak bersekolah. Kata fakultas, film, fitnah,
kompleks yang dikenal oleh orang berpendidikan, bervariasi menjadi pakultas,
pilm, pitenah, komplek dalam orang yang tidak menikmati pengajaran bahasa di
sekolah. Perbedaan yang lain juga nampak pada tata bahasa. Kalimat Saya mau
bayar itu uang ke bank cukup jelas maksudnya, tetapi bahasa yang terpelihara
menuntut agar bentuknya menjadi Saya mau membayar uang itu ke bank. Bahasa
orang yang berpendidikan berciri pemeliharaan.
Ketiga, berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa Indonesia dalam hal ini mencakup sejumlah corak. Ragam ini, biasa
disebut langgam atau gaya, pemilihannya bergantung pada sikap penutur terhadap
orang yang diajak berkomunikasi. Sikap ini dipengaruhi antara lain, oleh umur
dan kedudukan yang disapa, pokok persoalan yang hendak disampaikannya, dan
tujuan penyampaian informasinya. Dalam hal ini, penutur dihadapkan dengan
pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu yang menggambarkan sikap penutur yang
kaku, dingin, hambar, hangat, akrab, atau santai. Perbedaan berbagai gaya itu
tercermin dalam pilihan kosa kata dan tata bahasa. Meskipun begitu, gaya yang
bermacam-macam itu tetap kita kenali. Misalnya, gaya bahasa ketika kita sedang laporan
kepada atasan, atau ketika sedang marah, membujuk anak, menulis surat kepada
kekasih, mengobrol dengan teman karib.
Keempat, ragam bahasa menurut bidang
atau pokok persoalan yang melingkupi penutur. Setiap penutur bahasa hidup dan
bergerak dalam sejumlah bidang kehidupan sehingga penutur harus memilih salah
satu ragam yang berkaitan atau cocok dengan bidang yang dikuasainya. Bidang
yang dimaksud itu, misalnya, agama, politik, teknologi, pertanian, seni, olah
raga, hukum, dll.
Kelima, ragam bahasa menurut
sarananya terbagi atas ragam lisan atau ujaran dan ragam tulisan. Ragam lisan
lebih dahulu dikuasai oleh penggunanya sedangkan ragam lisan diperoleh
kemudian. Dalam ragam tulis, orang yang diajak berkomunikasi tidak ada
dihadapan kita. Akibatnya, bahasa kita perlu lebih jelas karena tulisan kita
tidak dapat disertai oleh gerak isyarat, pandangan, atau anggukan tanda
penegasan di pihak kita atau pemahaman di pihak lain yang kita ajak
berkomunikasi. Itulah sebabnya, kalimat dalam ragam tulisan harus lebih cermat
sifatnya. Fungsi tata bahasa, seperti subjek, predikat, dan objek, serta
hubungan di antara fungsi itu, harus jelas. Dalam ragam ujaran, karena penutur
bersemuka/berhadapan, fungsi itu dapat ditinggalkan.
Halliday merincikannya sebagai berikut:
a. Variasi
dari Segi Pemakai/Penutur: Idiolek, dialek, kronolek, sosiolek
b. Variasi
dari Segi Pemakaian, yakni bahasa digunakan untuk keperluan atau bidang apa.
Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer, pelayaran,
pendidikan, dsb.
c. Variasi
dari Segi Keformalan. Dalam hal ini variasi bahasa dibagi menjadi lima macam
gaya (ragam), yaitu ragam beku (frozen); ragam resmi (formal); ragam usaha
(konsultatif); ragam santai (casual); ragam akrab (intimate).
d. Variasi
dari Segi Sarana. Dalam hal ini terdapat ragam lisan dan tulis atau juga ragam
dalam berbahasa dengan menggunakan sarana atau alat tertentu, misalnya bertelepon
atau bertelegraf.
Beberapa Istilah dalam Ragam Bahasa
1. Bahasa
Standar
Bahasa standar adalah bahasa yang
memiliki norma tertentu sebagai patokan atas ragam yang lain. Bahasa standar
atau bahasa baku digunakan sebagai bahasa persatuan dalam masyarakat bahasa
yang mempunyai banyak bahasa. Bahasa baku umumnya ditegakkan melalui kamus
(ejaan dan kosakata), tata bahasa, pelafalan, lembaga bahasa, status hukum,
serta penggunaan di masyarakat (pemerintah, sekolah, dll).
Bahasa baku tidak dapat dipakai untuk
segala keperluan, tetapi hanya untuk komunikasi resmi, wacana teknis,
pembicaraan di depan umum, dan pembicaraan dengan orang yang dihormati. Di luar
keempat penggunaan itu, dipakai ragam takbaku.
2. Idiolek
Idiolek merupakan variasi bahasa yang
bersifat perseorangan. Setiap orang mempunyai idiolek masing-masing. Idiolek
ini berkenaan dengan “warna” suara, pilihan kata, gaya bahasa, susunan kalimat,
dsb. Yang paling dominan adalah warna suara, kita dapat mengenali suara
seseorang yang kita kenal hanya dengan mendengar suara tersebut Idiolek melalui
karya tulis pun juga bisa, tetapi disini membedakannya agak sulit.
3. Dialek
Dialek yaitu variasi bahasa dari
sekelompok penutur yang berada di suatu tempat atau area tertentu. Bidang studi
yang mempelajari tentang variasi bahasa ini adalah dialektologi. Variasi ini
berbeda satu sama lain dalam sekelompok penutur itu, tetapi masih banyak menunjukkan
kemiripan sehingga belum pantas disebut bahasa yang berbeda. Biasanya pemerian
dialek adalah berdasarkan geografi, namun bisa berdasarkan faktor lain,
misalkan faktor sosial.
Sebuah dialek dibedakan berdasarkan
kosa kata, tata bahasa, dan pengucapan (fonologi, termasuk prosodi). Jika
pembedaannya hanya berdasarkan pengucapan, maka istilah yang tepat ialah aksen
dan bukan dialek.
Jenis dialek
Berdasarkan pemakaian bahasa, dialek dibedakan menjadi
berikut:
• Dialek
regional: varian bahasa yang dipakai di daerah tertentu. Misalnya, bahasa
Melayu dialek Ambon, dialek Jakarta, atau dialek Medan.
• Dialek
sosial: dialek yang dipakai oleh kelompok sosial tertentu atau yang menandai
strata sosial tertentu. Misalnya, dialek remaja.
• Dialek
temporal, yaitu dialek yang dipakai pada kurun waktu tertentu. Misalnya, dialek
Melayu zaman Sriwijaya dan dialek Melayu zaman Abdullah.
• Idiolek,
keseluruhan ciri bahasa seseorang yang khas pribadi dalam lafal, tata bahasa, atau
pilihan dan kekayaan kata.
4. Kronolek
Kronolek atau dialek temporal, yaitu variasi bahasa
yang digunakan oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Sebagai contoh, variasi
bahasa Indonesia pada masa tahun tiga puluhan, lima puluhan, ataupun saat ini.
5. Sosiolek
Sosiolek (dari sosial dan dialek) adalah
ragam bahasa yang terkait dengan suatu kelompok sosial tertentu. Sosiolek
antara lain terjadi pada berbagai kelompok masyarakat menurut kelas sosial,
usia, serta pekerjaan. Contohnya adalah perbedaan bahasa antara masyarakat
kelas atas dan kelas bawah, remaja dan orang tua, serta antara dokter dan
pengacara.
Sosiolek atau dialek sosial, yaitu
variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan dan kelas sosial para
penuturnya. Dalam sosiolinguistik variasi inilah yang menyangkut semua masalah
pribadi penuturnya, seperti usia, pendidikan, keadaan sosial ekonomi,
pekerjaan, seks, dsb. Sehubungan dengan variasi bahasa yang berkenaan dengan
tingkat, golongan, status, dan kelas sosial para penuturnya disebut dengan
prokem.
6. Register
A register is a variety of a language
used for a particular purpose or in a particular social setting ‘berbagai
bahasa yang digunakan untuk tujuan tertentu atau dalam lingkungan sosial
tertentu’. Variasi ini biasanya dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan,
gaya, atau tingkat keformalan dan sarana penggunaan. Variasi bahasa berdasarkan
bidang pemakaian ini adalah menyangkut bahasa itu digunakan untuk keperluan
atau bidang apa. Misalnya, bidang sastra, jurnalistik, pertanian, militer,
pelayaran, pendidikan, dsb. Berdasarkan gaya contohnya, ketika menyapa lawan
bicara digunakan kata “kamu” untuk yang sebaya/lebih rendah statusnya atau “anda”
untuk yang lebih tinggi.
7. Ragam
Beku
Ragam beku adalah variasi bahasa yang paling formal,
yang digunakan dalam situasi khidmat dan upacara resmi. Misalnya, dalam
khotbah, undang-undang, akte notaris, sumpah, dsb.
8. Ragam
Resmi
Ragam resmi adalah variasi bahasa yang digunakan dalam
pidato kenegaraan, rapat dinas, ceramah, buku pelajaran, dsb.
9. Ragam
Usaha
Ragam usaha adalah variasi bahasa yang lazim digunakan
pembicaraan biasa di sekolah, rapat-rapat, ataupun pembicaraan yang
berorientasi kepada hasil atau produksi. Wujud ragam ini berada diantara ragam
formal dan ragam informal atau santai.
10. Ragam
Santai
Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam situasi tidak resmi untuk berbincang-bincang dangan keluarga atau teman
pada waktu beristirahat, berolahraga, berekreasi, dsb. Ragam ini banyak
menggunakan bentuk alegro, yakni bentuk ujaran yang dipendekkan.
11. Ragam
Akrab
Ragam akrab adalah variasi bahasa yang biasa digunakan
oleh para penutur yang hubngannya sudah akrab, seperti antar anggota keluarga,
atau teman karib. Ragam ini menggunakan bahasa yang tidak lengkap dengan
artikulasi yang tidak jelas.
12. Ragam
Lisan dan Tulisan
Bahasa yang dihasilkan melalui alat
ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa
lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan
huruf sebagai unsur dasarnya, dinamakan ragam bahasa tulis. Jadi dalam ragam
bahasa lisan, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita
berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan). Selain itu aspek tata bahasa dan
kosa kata dalam kedua jenis ragam itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa
tulis yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena
itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan tulis itu sama. Padahal,
kedua jenis ragam bahasa itu berkembang menjdi sistem bahasa yang memiliki
seperangkat kaidah yang tidak identik benar, meskipun ada pula kesamaannya.
Meskipun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosa kata, masing-masing
memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain.
Dalam penggunaan ragam bahasa baku
tulis makna kalimat yang diungkapkannya tidak ditunjang oleh situasi pemakaian,
sedangkan ragam bahasa baku lisan makna kalimat yang diungkapkannya ditunjang
oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar terjadi pelesapan unsur
kalimat. Oleh karena itu, dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis diperlukan
kecermatan dan ketepatan di dalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan,
struktur bentuk kata dan struktur kalimat, serta kelengkapan unsur-unsur bahasa
di dalam struktur kalimat.
13. Diglosia
Diglosia adalah suatu situasi bahasa
di mana terdapat pembagian fungsional atas variasi-variasi bahasa atau
bahasa-bahasa yang ada di masyarakat. Dalam situasi diglosia akan kita jumpai
adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia,
seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama.
Dengan demikian diglosia itu mengacu kepada kondisi dua ragam dalam satu bahasa
hidup berdampingan dalam guyup bahasa, dan masing-masing ragam itu mempunyai
peran atau fungsi tertentu.
14. Pidgin
Bahasa pijin atau pidgin adalah
sebuah bentuk bahasa kontak yang digunakan oleh orang-orang dengan latar
belakang bahasa yang berbeda-beda. Sebuah pijin biasanya memiliki tatabahasa
yang sangat sederhana dengan kosakata dari bahasa yang berbeda-beda. Sebuah
pijin tidak memiliki penutur bahasa ibu. Jika memiliki penutur asli maka bahasa
ini disebut bahasa kreol.
Kebanyakan bahasa memiliki penutur
asli. Pidgin adalah bahasa yang tidak memiliki penutur asli. Pidgin tidak
pernah menjadi bahasa pertama dari sebuah kelompok masyarakat. Pidgin hanyalah
bahasa untuk melakukan kontak sosial. Dengan kata lain, pidgin lahir dari
sebuah situasi multibahasa. Dalam situasi seperti ini, para individu mencari
bahasa yang bentuknya sederhana. Oleh karena bentuknya sederhana, bahasa itu
dapat dipahami oleh orang lain juga. Pidgin acapkali disebut sebagai bahasa
normal yang ‘disunat’ atau disederhanakan.
15. Kreol
Bahasa kreol adalah keturunan dari
bahasa pijin yang menjadi bahasa ibu bagi sekelompok orang yang berasal dari
latar belakang berbeda-beda. Bahasa-bahasa kreol yang ada di dunia menunjukkan
adalah kesamaan, khususnya dari segi tata bahasa yang mengarah pada bahasa
universalnya (pidgin). Contoh kreol Melayu, yakni: Betawi, Melayu Ambon, Melayu
Manado, Melayu Ternate, Melayu Banda, Melayu Kupang, dll.
16. Aksen/Logat
Aksen adalah pelafalan khas yang
menjadi ciri seseorang sesuai dengan asal daerah ataupun suku bangsa (logat).
Kekhasan itu pada cara mengucapkan kata (aksen) atau lekuk lidah. Logat dapat
mengidentifikasi lokasi dimana pembicara berada, status sosial-ekonomi, dan
lain lainnya.
B. Kelas
Sosial
Kelas sosial atau golongan sosial
merujuk kepada perbedaan hierarkis (atau stratifikasi) antara insan atau
kelompok manusia dalam masyarakat atau budaya. Biasanya kebanyakan masyarakat
memiliki golongan sosial, namun tidak semua masyarakat memiliki jenis-jenis
kategori golongan sosial yang sama. Berdasarkan karakteristik stratifikasi
sosial, dapat kita temukan beberapa pembagian kelas atau golongan dalam
masyarakat. Beberapa masyarakat tradisional pemburu-pengumpul, tidak memiliki
golongan sosial dan seringkali tidak memiliki pemimpin tetap pula. Oleh karena
itu masyarakt seperti ini menghindari stratifikasi social. Dalam masyarakat
seperti ini, semua orang biasanya mengerjakan aktivitas yang sama dan tidak ada
pembagian pekerjaan.
Secara harfiah kelas sosial sering
juga mengacu kepda golongankepada masyarakat yang yang mempunyai kesamaan atau
perbedaan dalam bidang kemasyarakatan seperti Ekonomi, Pekerjaan, Pendidikan,
Kedudukan, Kasta, dan Sebagainya. Perbedaan menurut bidang ini pun masih
memiliki kelas sosial, misalnya dalam bidang Ekonomi, yakni kelas sosila
ekonomi mampu dan tidak mampu. Dalam bidang Pekerjaan pun terdapat kelas sosial
yakni kelas para petinggi (direktur dan semacamnya) dan kelas pekerja kasar
(anak buah).
Jika dikaitkan dengan bahasa bisa kita mengambil beberapa contoh sebagai
berikut:
1. Bahasa
Jawa
Bahasa Jawa mengenal undhak-undhuk
basa dan menjadi bagian integral dalam tata krama (etiket) masyarakat Jawa
dalam berbahasa. Dialek Surakarta biasanya menjadi rujukan dalam hal ini.
Bahasa Jawa bukan satu-satunya bahasa yang mengenal hal ini karena beberapa
bahasa Austronesia lain dan bahasa-bahasa Asia Timur seperti bahasa Korea dan
bahasa Jepang juga mengenal hal semacam ini. Dalam sosiolinguistik,
undhak-undhuk merupakan salah satu bentuk register.
Terdapat tiga bentuk utama variasi,
yaitu ngoko ("kasar"), madya ("biasa"), dan krama ("halus"). Di antara masing-masing
bentuk ini terdapat bentuk "penghormatan" (ngajengake,honorific) dan
"perendahan" (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah
registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan
bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.
Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian
ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap
dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta,
dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa
semacam ini.
Sebagai tambahan, terdapat bentuk
bagongan dan kedhaton, yang keduanya hanya dipakai sebagai bahasa pengantar di
lingkungan keraton. Dengan demikian, dikenal bentuk-bentuk ngoko lugu, ngoko
andhap, madhya, madhyantara, krama, krama inggil, bagongan, kedhaton.
Di bawah ini disajikan contoh sebuah kalimat dalam
beberapa gaya bahasa yang berbeda-beda ini.
Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak
Budi itu, di mana?"
1. Ngoko
kasar: “Eh, aku arep takon, omahé Budi kuwi, nèng*ndi?’
2. Ngoko
alus: “Aku nyuwun pirsa, dalemé mas Budi kuwi, nèng endi?”
3. Ngoko
meninggikan diri sendiri: “Aku kersa ndangu, omahé mas Budi kuwi, nèng ndi?”
(ini dianggap salah oleh sebagian besar penutur bahasa Jawa karena menggunakan
leksikon krama inggil untuk diri sendiri)
4. Madya:
“Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, griyané mas Budi niku, teng pundi?” (ini krama
desa (substandar)
5. Madya
alus: “Nuwun sèwu, kula ajeng tanglet, dalemé mas Budi niku, teng pundi?” (ini
juga termasuk krama desa (krama substandar))
6. Krama
andhap: “Nuwun sèwu, dalem badhé nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika,
wonten pundi?” (dalem itu sebenarnya pronomina persona kedua, kagungan dalem
'kepunyaanmu'. Jadi ini termasuk tuturan krama yang salah alias krama desa)
7. Krama
lugu: “Nuwun sewu, kula badhé takèn, griyanipun mas Budi punika, wonten pundi?”
8. Krama
alus “Nuwun sewu, kula badhe nyuwun pirsa, dalemipun mas Budi punika, wonten
pundi?”
nèng adalah bentuk percakapan sehari-hari dan
merupakan kependekan dari bentuk baku ana ing yang disingkat menjadi (a)nêng.
Dengan memakai kata-kata yang berbeda
dalam sebuah kalimat yang secara tatabahasa berarti sama, seseorang bisa
mengungkapkan status sosialnya terhadap lawan bicaranya dan juga terhadap yang
dibicarakan. Walaupun demikian, tidak semua penutur bahasa Jawa mengenal
semuanya register itu. Biasanya mereka hanya mengenal ngoko dan sejenis madya.
2. Bahasa
Madura
Sama halnya dengan bahasa Jawa,
bahasa madura pun memilki kelas atau tingkatan dalam hal penggunaannya. Karena
memiliki tiga varian bahasa yakni bahasa Enje’-Iyeh (kasar), Enggi-Enten
(biasa),dan Enggi-Bhunten (halus).
Kelas bahasa ini sangat mudah kita
jumpai jika kita berada di sekitar lingkungan pondok pesantren yang ada di
Madura. Dapat dijelaskan, dalam perkataan sesama santri mereka memakai bahasa
“kasaran” yakni enje’-iyeh, dan jika santri dengan pengurus pesantren para
santri menggunakan bahasa enggi-enten, dan jika santri dengan kiai maka para
santri harus menggunakan bahasa enggi-bhunten. Itu jika di lingkungan
pesantren, yang masih sangat kental dan merupaka tempat untuk belajar tatakrama
dalam bertingkah laku ataupun berbicara dengan sesama ataupun orang yang lebih
tua. Namun, kelas ini sangat fleksibel sama halnya dengan bahasa jawa, tapi
tidak sekongkrit bahasa Jawa.
Bahasa Indonesia: "Maaf, saya mau tanya rumah Kak
Budi itu, di mana?"
a. Enje’-iyeh
terhadap ...
Sesama:
“Eh, sengko’ atanya ah, romanahcak Budi juah, e dimmah?”
Orang
yang lebih tua: “Ta’ langkong saporanah, kaula atanya ah compok nah cak Budi e
kimmah gi ?”
Orang
Tua/ Guru/ Kiai (orang yang dihormati):“yu’un saporah pak, buleh/ abdinah
atanya ah dhalem mah cak Budi, e ka immah gi ?”
b. Enggi-Enten
Sesama
: manabi roma nah budi e dimmah gi?
Orang
yang lebih tua: tak langkong gi, kaula apkonah compok nah cak Budi e kimmah gi
?
Orang
Tua/ Guru/ Kiai (orang yang dihormati):
“yu’un pangaporah nah, buleh/ abdinah terro oneng ngah dhalem mah cak
Budi, e ka immah gi ?”
c. Enggi-Bhunten
Dalam kelas ini hanya di kenal dengan kelas sesama
saja, karena yang menggunakan bahasa ini hanya orang-orang sesepuh atau para
kiai terhadap kiai. Namun dalam kasus kelas bahasa ini ada sistem kebalikan
yaitu bagaimana bicara dengan sesama, dan dengan yang lebih muda saja.
Sesama:
tak langkong, kaula alenggi yeh de’ ka compok nah cak budi, e dimmah gi ?
Yang
lebih muda : eh, engko’ atanya ah, e dimmah roma nah Budi ?
Catatan:
Dalam penggunaan bahasa Madura, ini
sangat dipenbgaruhi oleh tindak kesopanan, jika dari anak muda berbicara pada
sesama bisa menggunakan bahasa Enje’-Iyeh, sedangkan dengan orang yang lebih
tua menggunakan kelas bahasa Enggi-Entenatau pun Enggi-Bhunten, dan jika
berbicara dengan orang yang sangat dihormati seperti Orang Tua, Guru, Atau Kiai
menggunakan bahasa Enggi-Bhunten.
Namun jika sebaliknya jika orang tua
atau sesepuh, guru atau kiai yang berbicara pada anak muda, mereka tidak
diharuskan memakai bahasa Enggi-Enten atau pun Enggi Bhunten. Karena jika
seorang tersebut memakai bahasa tersebut terkesan merendahkan, meski bahasa
yang digunakan adalah bahasa enggi-bhunten. Dan jika kepada sesama bebas
memakai kelas bahasa apapun.
Jadidapat disimpulkan bahwa kelas
sosial di dalam bahasa itu merupakan sebuah peraturan atau tatak rama dalam
berbicara kepada orang lain, yang biasa di kenal dengan tindak tutur kesopanan
dalam berbicara. Banyak teori yang sudah dikemukakan tentang kelas sosial
bahasa ini. Seperti penelitian William Labov, yang memasukkan dimensi sosial ke
dalam dialektologi. Kemudian ada kelas sosial dengan ragam baku ini terdapat di
Inggris. Dan ada lagi Teori Bernstein yang mengemukakan pendapat bahwa ada dua
ragam bahasa penutur yakni kode terperinci dan kode terbatas. Selain itu ada
hipotesis dari Sapir Whort yang berbunyi “pandangan manusia tentang
lingkungannya dapat di tentukan oleh bahawanya”.
Daftar Referensi
Gowdy, John. 2006. “Hunter-gatherers and the mythology
of the market" in Richard B. Lee and Richard H. Daly (eds.), The Cambridge
Encyclopedia of Hunters and Gatherers, pp.391-394. New York: Cambridge
University Press
Habermas, J. 2006. "The European Nation State -
Its Achievments and Its Limits. On the Past and Future Sovereignty and
Citizenship", in G. Balakrishan (ed.) Mapping the Nation. London: Vernon.
281 - 294
http://azhararief.wordpress.com/2008/08/27/variasi-bahasa-dalam-sosiolinguistik/
http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Ragam_bahasa
http://intl.feedfury.com/content/15241462-ragam-bahasa.html
http://macuy-marucuy.blogspot.com/2009/10/pengertian-ragam-bahasa-dan-hal-hal.html
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/Menimbang-nimbang
Bahasa Cirebon (Edisi Tahun 2009). Html.
http://uzi-online.blogspot.com/2011/10/ragam-bahasa.html
Hudson, R.A. 1985. Sociolinguistics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Meecham, Marjorie and Janie Rees-Miller. 2001.
Language in social contexts. In W. O'Grady, J. Archibald, M. Aronoff and J.
Rees-Miller (eds) Contemporary Linguistics. pp. 537-590. Boston: Bedford/St.
Martin's.
Poerwodarminto, WJS. 1988. Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Pendahuluan KBBI edisi ketiga.
Uhlenbeck, E.M. 1964. A Critical Survey of Studies on
the Languages of Java and Madura. The Hague: Martinus Nijhoff
Sumarsono dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan Sabda.
Persoalan2 dari temen2:
Ø Ragam bahasa
dan variasi bahasa:
Ø Slogan
seperti bojonegoro matoh bisa apa tidak di masukkan?
Ø Berikan
contoh sosial ragam bahasa Indonesia.?
Ø Menurut anda
bahasa indo iku sebaiknya harus ada kelas sosial apa tidak?
Ø Ada gak sih
keadilan bahasa iku?
0 komentar:
Posting Komentar