Konstruksi Realisme Sosialis dan Marxisme dalam Dunia Sastra
Minggu, 16 Oktober 2011
0
komentar
dalam Dunia Sastra
Oleh:
Joko Yulianto (NIM 117835020) dan Bambang Edi Pornomo (NIM 117835022)
Pendahuluan
Seperti halnya ajaran pemikiran lain, aliran realisme ini mempunyai persoalan historis dalam konsepsi dasarnya. Ia menjadi antitesis dari paham idealisme yang hanya cukup mendasarkan diri pada persoalan idea. Dalam tataran filosofis, objek yang dipandang paham idealisme hanya ada dalam akal budi maka sebaliknya kaum realis berpandangan bahwa objek presepsi inderawi dan pengertian sungguh-sungguh ada ada terlepas dari indra dan budi yang menangkapnya.
Realisme sosialis adalah salah satu paham/aliran sastra yang cukup kuat mendominasi di Eropa Barat khususnya ketika rezim sosialis menempati posisi kekuasaan. Aliran ini cukup mempunyai konstribusi yang besar terhadap kasanah sastra dunia. Namun hingga kini banyak orang yang kurang suka membicarakannya. Hal ini punya alasan yang cukup kuat mengingat kebanyakan para sastrawan masih banyak yang berpaham netral dan anti partisan terhadap segala macam bentuk kekuasaan. Lebih-lebih ketika realisme sosialis pernah mengalami sejarah buruk ketika berada dalam genggaman kekuasaan Stalin di rusia selama beberapa dekade.
Realisme sosialis –dan sastra lain yang berbau politis dan memihak—kemudian sering direduksi sedemikian rupa sehingga tidak lagi dipandang sebagai gagasan kreativitas yang humanis. Hal ini tidak terjadi di Eropa saja melainkan di Indonesia dimana para seniman realisme sosialis seperti Pramudya Ananta Toer dkk memang pernah terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang punya masalah historis. Agar reduksi yang menjerus pada sikap subjektifisme/sentimen berlebihan ini bisa jernih maka perlulah kiranya ditelaah lebih mendasar dan ilmiah tanpa perlu berprasangka buruk terhadap aliran ini.
Realisme Sosialis dan Marxisme
Kalau kita tengok lebih jauh pada dasarnya kemunculan aliran ini bukan berdiri sendiri. Ia terkait dengan konsepsi dasar filosofis materialisme dialektik dan materialisme historis (marxisme) yang digagas oleh Karl Marx dan Fedrik Engels. Walaupun orang seperti Pramudya mengaku tidak pernah belajar Marxis, namun berbagai karya sastra baik dalam bentuk novel, cerpen maupun romannya membuktikan keterkaitan tersebut. Apa sebenarnya dasar filosofi Marxis yang mempengaruhi sastra ini?
Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan mendasar berkaitan dasar teoritik marxisme dalam segala bidang. Dalam meninjau hubungan struktur masyarakat Marx berpandangan bahwa ada dua strata sosial yang ada dalam setiap zaman, yakni basis-struktur (struktur dasar) dan supra-struktur (struktur atas). Dalam hal ini filsafat marxis menempatkan ekonomi sebagai struktur yang secara urgen mempengaruhi bidang-bidang lain dalam bidang suprastruktur seperti, pemikiran, politik, agama, dan kebudayaan. Seluruh komponen suprastruktur berubah atau tidaknya akan sangat di tentukan dari dari corak produksi ekonomi sebuah masyarakat.
Aliran ini dulunya hanya bersifat sederhana dan terbatas dalam lingkungan sastrawan yang bersinggungan dengan pemikiran marxis. Namun ketika ajaran marxis mampu menampilkan dirinya menjadi sebuah ideologi dan dipraksiskan oleh Lenin menjadi partai revolusioner klas pekerja yang berideologi sosialisme, dan mempunyai banyak pengikut sastrawan beraliran realis, maka banyak orang menyebutnya menjadi realisme-sosialisme. Aliran ini lahir pertama kali di Rusia atas prakarsa beberapa sastrawan partai Bolshevik, antara lain, Maxim Gorki yang kemudian dikenal sebagai bapak pendiri realisme sosialis.
Teori filosofis realisme sosialis ternyata tak mudah dipahami begitu saja oleh para
sastrawan baik yang pro maupun yang kontra. Di satu sisi ia sering dianggap
menempatkan sastra menjadi tidak penting dalam diskursus perubahan di lain pihak dianggap terlalu memaksa seniman untuk terus berkiblat pada doktrin yang kurang lebih ekonomistik. Selain itu bagi penganut realisme sosialis sendiri juga sering mengalami kegagalan dalam membentuk karekteristik sastra yang utuh. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh ketidaklengkapan pemikiran Karl Marx dan Engels yang memang tidak pernah secara utuh dan baku menjelaskan rumusan teoritik estetikanya.
sastrawan baik yang pro maupun yang kontra. Di satu sisi ia sering dianggap
menempatkan sastra menjadi tidak penting dalam diskursus perubahan di lain pihak dianggap terlalu memaksa seniman untuk terus berkiblat pada doktrin yang kurang lebih ekonomistik. Selain itu bagi penganut realisme sosialis sendiri juga sering mengalami kegagalan dalam membentuk karekteristik sastra yang utuh. Hal ini tak lain dan tak bukan disebabkan oleh ketidaklengkapan pemikiran Karl Marx dan Engels yang memang tidak pernah secara utuh dan baku menjelaskan rumusan teoritik estetikanya.
Namun setidaknya sastra realisme rosialis pernah punya rumusan yang cukup valid. Apa yang diungkapkan oleh Fokkema D. W. dan Elrud Kunne-Ilsch dalam buku Teori Sastra Abad Keduapuluh (Gramedia, 1998) setidaknya mengambarkan rumusan konkret tersebut. Mereka berdua menuliskan kriteria dalam tiga dasar pokok: 1) kriteria penafsiran determinisme ekonomi yang menyangkut pertanyaan apakah karya sastra mengambarkan perkembangan-perkembangan lebih maju atau lebih mundur berdasarkan ekonomi; 2) kriteria probabilitas kebenaran yang sepenuhnya sesuai dengan kode sastra pada zamannya; dan 3) kriteria (selera) pribadi, misalnya tulisan-tulisan Aeschylus, Shakespeare dan Goethe, yang termasuk daftar kesustraan pada zamannya.
Realisme Sosial dan Realita
Secara general realisme sosialis menginginkan keharmonisan antara kenyataan dan idea. Kenyataan harus dinyatakan sebagai mana adanya, menurut proposisi aslinya, sementara idea harus disandarkan pada konteks kondisi obyektif.
Dalam teori mimesis dijelaskan bahwa teori realisme sosialis adalah “revolusinya teori mimesis”. Wajarlah jika ada sedikit kesamaan antara teori mimesis dengan teori realisme sosialis. Mimesis memandang karya seni sebagai tiruan atau pembayangan dari dunia nyata “seni hanyalah tiruan dari alam”. Konsep ini dikemukakan oleh Plato. Sedangkan Aristotels menyatakan bahwa tiruan itu justru membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni adalah aktifitas manusia dengan proses pembelajarannya yang dihasilkan karena adanya daya kreasi dalam menggapai realita. Realitas bagi Plato adalah sumber dari segala tampilan, karena tanpa mengetahui realitas mustahil seorang seniman mampu menciptakan karya yang benar, realitas adalah pengetahuan sejati tentang sesuatu atau benda.
Hal yang paling prinsipil dari semuanya adalah semangat ideologi realisme sosialis jika dihubungkan dengan kenyataan, akhirnya mengarah terhadap perjuangan klas bagi kaum tertindas (proletariat). Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai pemikiran realisme sosialis Mulai dari Maxim Gorki, Lu Hsun, George Lukacs, bahkan sampai Pramudya Ananta Toer.
Sastra realisme sosialis bisa dianggap sebagai sastranya rakyat jembel, kaum pekerja (buruh, tani dan nelayan) yang hadir untuk ikut terlibat berjuang melawan segala sesuatu yang menindas terutama sistem kapitalisme yang secara nyata menghisap kaum pekerja (Kurniawan, Eka; 1999). Ia harus menjadi aspek gerakan partisan terhadap partai revolusioner. Lenin, sang pemimpin revolusi Rusia 1917 mengatakan: ”Sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi”. Kenetralan tulisan dianggap oleh Lenin sebagai sesuatu yang mustahil sebagaimana pernyataannya: “Kebebasan penulis borjuis (klas menegah) hanyalah ditopengi oleh ketergantungan terhadap sekantong uang! Begitu juga dengan penulis-penulis non partisan.” Apa yang dibutuhkan adalah sastra yang luas, bentuk yang beragam dan tidak terpisah dari gerakan klas pekerja (kaum buruh dan tani).
Karena persoalan komitmen dan keberpihakan inilah yang kemudian sering dikatakan oleh berbagai macam sastrawan idealis-borjuistik dengan klaim bahwa sastra marxis lebih mengutamakan visi politik (kepentinganya) dari pada mengutamakan netralitas dan kebebasan ekspresinya. Realisme sosialis yang paling dominan memang tidak mengelak dari persoalan ini. Aturan garis ini memang terkesan menjurus dalam satu format ideologi kepentingan partai.
Penutup
Di atas telah dijelaskan akar dan garis visi serta komitmen keberpihakan sebuah sastra. Aliran kiri ini belumlah banyak dikaji oleh para sastrawan. Sastrawan kita lebih banyak yang sering mengkritik aliran ini secara vulgar tanpa pertimbangan basis teoritik yang memadai. Jikalau-pun ada yang berkeinginan mempraktekkan aliran ini di negara kita, kendala-kendala yang muncul tentulah tidak sedikit. Selain dari halangan yang muncul dari pihak luar yang berupa intrik, teror dan sikap sinis terhadap aliran ini, di kalangan penganutnya-pun sering terjadi kontradiksi yang menjurus pada sikap-sikap ideologis.
Di luar itu sebenarnya masyarakat kita membutuhkan aliran ini sebagai pelengkap keragaman yang telah ada. Terlebih-lebih bila dikaitkan dengan situasi makro –dimana rakyat membutuhkan komponen perubahan transformasi sosial—maka realisme sosialis rasanya penting dijadikan sebagai salah satu aktivis gerakan yang menginginkan tegaknya keadilan dan demokrasi.
REFERENSI:
jan van luxembrug, miekel bal dan willem G. Weststeijn, 1982, pengantar ilmu sastra.
jan van luxembrug, miekel bal dan willem G. Weststeijn, 1987, tentang sastra.
0 komentar:
Posting Komentar