TEORI STRUKTURALISME

Posted by joko yulianto Minggu, 30 Oktober 2011 0 komentar

TEORI STRUKTURALISME

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sastra Umum
Dosen Pembimbing: Prof. Dr. Setya Yuwana Sudikan, M.A dan Dr. Suyatno

Oleh:
Ahmad Khoiron Hamzah
Novita Rahayu

PROGRAM PASCASARJANA (S-2)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2011


TEORI STRUKTURALISME
I. Pendahuluan
        Secara Etimologis struktur berasal dari kata Structure,  bahasa latin yang berarti bentuk atau bangunan. Struktur berasal dari kata Structura (Latin) = bentuk, bangunan (kata benda). System (Latin) = cara (kata kerja). asal usul strukturalis dapat dilacak dengan Poetica  Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot. Plot memiliki ciri-ciri: kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134). Strukturalisme berasal dari bahasa Inggris, structuralism; latin struere (membangun), structura berarti bentuk bangunan. Secara Etimologis struktur berasal dari kata Structura, bahasa latin yang berarti bentuk atau bangunan.
             Struktur sendiri adalah bangunan teoretis (abstrak) yang terbentuk dari sejumlah komponen yang berhubungan satu sama lain. Struktur menjadi aspek utama dalam strukturalisme. Dengan kata lain, strukturalisme adalah teori yang menyatakan bahwa berbagai gejala budaya dan alamiah sebagai bangun teoritis (abstrak) yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain relasi sintagmatis dan paradigmatis. Strukturalisme juga beranggapan bahwa seluruh organisasi manusia ditentukan secara luas oleh struktur sosial atau psikologi yang mempunyai logika independen yang menarik, berkaitan dengan maksud, keinginan, maupun tujuan manusia.
         Menurut Yoseph (1997:38) menjelaskan bahwa teori strukturalisme sastra merupakan sebuh teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsur teks.
         Mengingat luasnya, materi teori strukturalisme ini, penulis membatasi makalah ini. Adapun hal yang akan dibahas  dalam makah ini antara lain, (a) Sejarah teori strukturalisme; (b) Jenis teori strukturalisme; (c) Konsep teori strukturalime; (d) Contoh analisis puisi dengan teori strukturalisme.


II. Sejarah Pengembangan Teori
               Teori strukturalisme memiliki latar belakang sejarah evolusi yang cukup panjang  dan berkembang secara dinamis.Strukturalisme menentang teori mimetic (yang berpandangan bahwa karya sastra adalah tiruan kenyataan), teori ekspresif (yang menganggap sastra pertama-tama sebagai ungkapan perasaan dan watak pengarang), dan menentang teori-teoriyang dianggap satra sebagai media komunikasi antara pengarang dan pembacanya.                                   Dalam perkembangannya, terdapat  banyak konsep dan istilah yang berbeda, bahkan saling bertentanga. Misalnya strukturalisme perancis yang terutama diwakili oleh Roland Barthes dan Julia Kristeva, mengembangkan seni penafsiran structural berdasarkan kode-kode bahasa teks sastra. melalui kode bahasa itu, diungkap kode-kode reptorika, psikoanalitis, sosiokultural. Mereka menekankan  bahwa sebuah karya sastra harus di pandang secara otonom.   Puisi khususnya dan sastra umumnya  harus diteliti secara objektif (yakni aspek intrisiknya). keindahan sastra terletak pada penggunaan bahasa yang khas yang mengandung efek-efek estetik. Aspek-aspek ekstrisik seperti idiologi, moral, sosiokultural, psikologi, dan agama tidaklah indah pada dirinya sendiri melainkan karena dituangkan dalam cara tertentu melalui sarana bahasa puitik.
Dengan adanya perbedaan pendapat dalam teori  strukturalisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu strukturalisme formalis , strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik yang pada dasarnya secara global strukturalisme menganut paham penulis paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk dan makna ( sign and meaning). 
a.      Strukturalisme Formalis
Istilah Formalisme (dari kata Latin forma yang berarti bentuk, wujud) berarti cara pendekatan dalam ilmu dan kritik sastra yang mengesampingkan data biografis, psikologis, ideologis, sosiologis dan mengarahkan perhatian pada bentuk karya sastra itu sendiri. Para Formalis meletakkan perhatiannya pada ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lainnya. Istilah Strukturalisme acap kali digunakan pula untuk menyebut model pendekatan ini karena mereka memandang karya sastra sebagai suatu keseluruhan struktur yang utuh dan otonom berdasarkan paradigma struktur kebahasaannya. Tokoh; Kaum Formalis Rusia tahun 1915-1930 dengan tokoh-tokohnya seperti Roman Jakobson, Rene Wellek, Sjklovsky, Eichenhaum, dan Tynjanov .Rene Wellek dan Roman Jakobson beremigrasi ke Amerika Serikat .
Sumbangan penting kaum formalis bagi ilmu sastra adalah secara prinsip mereka mengarahkan perhatian kita kepada unsur-unsur kesastraan dan fungsi puitik. Sampai sekarang masih banyak dipergunakan istilah teori sastra dan analisis sastra yang berasal dari kaum Formalis. Karya sastra merupakan sesuatu yang otonom atau berdiri sendiri .Karya sastra merupakan sebuah struktur yang terdiri dari unsur-unsur pembangun karya sastra.Makna sebuah karya sastra hanya dapat diungkapkan atas jalinan atau keterpaduan antar unsur .
b.     Strukturalisme Dinamik
Secara Etimologis struktur berasal dari kata Structure, bahasa latin yang berarti bentuk atau bangunan. Struktur berasal dari kata Structura (Latin) = bentuk, bangunan (kata benda). System (Latin)= cara (kata kerja). asal usul strukturalis dapat dilacak dengan Poetica  Aristoteles, dalam kaitannya dengan tragedi, lebih khusus lagi dalam pembicaraannya mengenai plot. Plot memiliki ciri-ciri: kesatuan, keseluruhan, kebulatan, dan keterjalinan (Teeuw, 1988: 121-134).
      Selama 25 abad terjadi perubahan paradigma yang sangat mendasar, yaitu dengan memberikan prioritas terhadap karya sastra, yang diawali oleh:
a.       Formalisme Rusia (1915 – 1930)
b.      Strukturalisme Praha (1930-an)
c.       Kritik baru di Amerika Serikat (1940-an)
d.      Strukturalisme Baru di Rusia (1960-an)
e.       Strukturalisme Inggris, gerakan otonomi di Jerman, Strukturalisme di Belanda, dan Strukturalisme di Indonesia melalui kelompok Rawamangun (1960-an).
Menurut Mukarovsky dalam (Rene Wellek, 1970: 275-276), sejarah Strukturalisme mulai diperkenalkan tahun 1934, tidak menggunakan nama metode atau teori sebab di satu pihak, teori berarti bidang ilmu pengetahuan tertentu, di pihak yang lain, metode berarti prosedur ilmiah yang relativ baik. Sebagai sudut pandang epistimologi, sebagian sistem tertentu dengan mekanisme antarhubungannya.

c.       Strukrutalisme Genetik
Merupakan jembatan penghubung antara teori struktural formalis dan teori semiotik .Hampir sama dengan struktural genetik (mengaitkan dengan asal-usul teks) tetapi penekanannya berbeda, Struktural Dinamik menekankan pada struktur, tanda, dan realitas.
Tokoh-tokohnya : Julia Cristeva dan Roland Bartes (Strukturalisme Prancis)
III.          Konsep-konsep
              Menurut Yoseph( 1997; 37- 40) menjelaskan teori strukturalisme sastra menganggap karya sastra sebagai “artefak”(benda seni) maka realisi-realiasi structural sebuah karya sastra hanya dapat dipahami dalam relasi unsur-unsur artefak itu sendiri.Jika dicermati, sebuah teks sastra terdiri dari komponen-komponen seperti; ide, tema, amanat. latar, watak dan perwatakan, insiden, plot, dan gaya bahasa.
              Komponen-komponen tersebut memiliki perbedaan aksentuasi pada berbagai teks sastra. strukturalisme sastra memberi keluasaan kepada peneliti sastra untuk menerapkan komponen-komponen mana yang akan mendapat prioritas signifikan. Keluasan ini tetap harus dibatasi, yakni sejauh komponen-komponen itu terserat dalam teks itu sendiri. Jadi teks satra berfungsi mengontrol objektifitas dan validitas hasil penelitian sastra. Prosedur ilmiah ini menetapkan teori strukturalisme sastra berkembang dengan baik, pesat, dan diterima dalam kalangan luas.         
                Menurut Abrams(dalam Pradopo: 140-141) bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan (1) mimetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan) (2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu, (3) pendekatan ekspresif yang menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair, (4) pendekatan obyektif yang menganggap karya sastra sebagai suatu otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.
              Menurut Zulfahnur (1997: 146-147) Struktural mempunyai konsep sebagai berikut:
a). Memberi penilaian terhadap keharmonisan semua komponen yang membentuk keseluruhan struktur dengan menjalin hubungan antara komponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang bermakna dan bernilai estetik.
b). Memberikan penilaian terhadap hubungan harmonis antara isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang sama penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra.
              Adapun unsur-unsur strukturalisme ada tiga pokok jenis karya sastra adalah; (a) dalam Prosa terdiri tema, peristiwa/kejadian, latar/setting, penokohan/perwatakan, alur/plot, sudut padang, dan gaya bahasa. (b) Dalam Puisi  terdiri dari tema, stilitika/gaya bahasa, imajinasi/daya bayang, rime/irama, rima/persajakan, diksi/pilihaan kata, simbol, nada. (c) Sedangkan pada Drama (drama teks) terdiri; tema, dialog, peristiwa/kejadian, latar/setting, penokohan/perwatakan, alur/plot dan gaya bahasa.
              Adapun tujuan teori strukturalime ini meliputi; (a) sebagai aktivitas yang bersifat inteltual, bertujuan menjelaskan eksplikasi tekstual; (b) sebagai metode ilmiah, teori ini memiliki  cara kerja teknis dan rangkaian langkah-langkah yang tertib untuk mencapai simpulan yang valid; (c) sebagai pengetahuan, teori ini dapat dipelajari dan dipahami secara umum dan luas dan dapat di buktikan kebenaran cara kerja secara cermat.
                         
IV. Penerapan atau Contoh Analisis
CINTAKU JAUH DI PULAU
                                          Karya: Chairil Anwar
Cintaku jauh di pulau
Gadis manis, sekarang iseng sendiri.
Perahu melancar, bulan memancar,
Di leher kukalungkan ole-ole buat sipacar,
Angin membantu, laut terang, tapi terasa
Aku tidak akan sampai padanya.
Di air yang terang, di angin yang mendayu,
Di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertahta, sambil berkata:
‘Tujukan perahu ke pangkuanku saja’
Amboi ! Jangan sudah bertahun kutempuh!
Perahu yang bersama kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!
Manisku jauh di pulau,
Kalau ‘ku mati, dia mati iseng sendiri.
ANALISIS:
      Dari sajak diatas mengemukakan usaha si aku yang akan mencapai cita yang diidam-idamkan, yang dikisahkan sebagai gadis manis (pacarnya) yang berada di sebuah pulau yang jauh. Meskipun keadaan berjalan dengan baik, perjalanan lancar: bulan memancar, perahu melancar, dan angin membantu bertiup dari buritan, namun si aku merasa bahwa ia tak akan dapat mencapai gadis manis pacarnya yang dicita-citakan itu. Hal ini diseabkan oleh perasaan bahwa ajal akan lebih dahulu mencekamnya. Dengan demikian, meskipun segala usaha yang menghabiskan tenaga dan memakan waktu bertahun-tahun itu, akan sia-sia saja. Ini merupakan ketragisan hidup dan nasib manusia.
      Dalam sajak ini ada koherensi atau pertautan yang erat antara unsure-unsurnya, satuan-satuan bermaknanya. Ada kesatuan imaji. Imaji percintaan: cintaku, gadis manis, si pacar, ole-ole. Sesuai dengan itu suasananya romantik: laut terang, perahu melancar, bulan memencar, dan kata kerja: berpelukan (dengan cintaku). Latarnya laut, maka objek-objeknya: perahu melancar, bulan memencar, angin membantu, laut terang, air yang terang, angin mendayu. Di tengah laut luas yang penuh bahaya, kehadiran maut (ajal) itu sangat terasa dan perjalanan laut yang jauh memerlukan waktu bertahun. 
      Sedangkan dalam pemilihan kata dan bunyi memiliki keterkaitan yang sangat kuat makna. Terdapat aliterasi yang runtut: melancar, memancar, si pacar, serta ulangan bunyi/dalam: melancar, bulan, leher, ole-ole, kukalungkan, semua itu member intensitas arti/makna romantis, menyenangkan, berjalan dengan tanpa halangan dalam bait kedua.
      Begitu juga dalam bait ketiga dan keempat, suasana yang berkebalikan dengan bait kedua, yaitu suasana murung, sedih, dan putus asa, maknanya diperkuat oleh bunyi vokal a dan u yang dominan (yang sesuai untuk mengungkapkan kesedihan), lebih-lebih dalam kata-kata: mendayu, penghabisan, melaju, ajal bertahta, bertahun kutempuh, perahu merapuh, ajal memanggil dulu, sebelum sempat berpeluk dengan cintaku. Jadi, antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat ada persamaan, semuanya memperbesar jaringan efek puitisnya.
      Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Roman Jakobson(1978:356) bahwa fungsi puitik itu memproyeksikan prinsip ekuivalen dari poros pemilihan (parataksis) ke poros kombinasi (sintaksis). Antara bunyi, pemilihan kata, frase, kalimat, ide, dan temanya diekuivalensikan dan disusun dalam sebuah struktur yang kompak.
      Dalam puisi tersebut terjadi ketragisan oleh pertentangan antara keadaan yang baik dengan kecemasan akan kegagalan, antara lajunya usaha dan panggilan maut, serta antara usaha yang menguras tenaga bertahun-tahun dengan peralatan yang menjadi habis (perahu merapuh) dan maut yang menjemput sebelum berhasil, semua itu dipaparkan dengan paradoks dan antitesis antara baris ke-1, 2 dengan baris ke-3, 4 dalam tiap-tiap bait. Pertentangan itu secara formal ditandai dengan sajak akhir yang berbeda, baris-baris yang bersajak akhir sama menyatukan isi pikiran yang sama yang dipertentangkan dengan kelompok lainnya. Bait ke-2, baris ke-1,2: memancar – si pacar dipertentangkan dengan baris ke-3, 4: terasa – padanya. Bait ke-3, baris ke-1, 2: mendayu – melaju dipertentangkan dengan baris ke-3,4: berkata – saja; Bait ke-4, baris ke-1, 2 kutempuh – merapuh dipertentangkan dengan baris ke-3, 4: dulu – cintaku. Dengan demikian, keteragisan itu kian mencekam dari bait ke bait yang mengklimaks pada bait keempat, sedangkan bait kelima merupakan anti klimaks yang membuat orang lebih berkontemplasi akan kegagalan yang tragis, yang membuat putus asa.
Hubungan antara bait yang satu dengan lainnya sangat kompak menjalin struktur yang bermakna. Bait pertama, memberi gambaran bahwa cita-cita itu begitu menariknya, dikiaskan dengan gambaran bahwa cita-cita itu begitu menariknya, dikiaskan dengan gambaran “gadis manis”, namun masih belum menjadi kenyataan, dikiaskan berada di sebuah pulau yang jauh. Bait kedua menggambarkan usaha si aku dengan naik perahu di laut yang terang dan bulan yang terang penuh romantik, namun si aku merasa tak akan dapat mencapai cita-cita yang menggairahkan itu. Ini diperjelas dengan bait ketiga yang menggambarkan bahwa segala jalan sudah lurus lancar, namun terasa maut memanggil. Ini diperkuat lagi dengan bait keempat yang menggambarkan kegagalan si aku yang erasa pasti tidak dapat mencapai gadisnya yang diidamkan-idamkan karena maut telah menjemput lebih dahulu. Bait kelima menggambarkan keputusan si aku yang  cita-citanya tebengkelai dan sia-sia saja. Dengan keeratan hubungan antara bait-baitnya itu, ketrgisan hidup si aku (manusia) itu begitu jelas dan mengerikan.Tiap-tiap bait hanya bermakna dalam hubungannya dengan yang lain dan keseluruhannya.Tidak ada bait satu pun yang dapat dicopot atau dihilangkan atau di balikan. Semua menyatakan bahwa sejak tersebut koherensinya sangat erat.
  Simpulan
1.   Pada umumnya penekanan perhatian teori sastra pada studi teks dapat digolongkan ke dalam konsep strukturalisme, sekalipun konsep ini sangat beragam jangkauan, kedalaman, dan model analisisnya. Strukturalisme, bagaimanapun, merupakan bidang teori sastra yang sudah menjadi urutan utama kebudayaan intelektual ilmu sastra.
2.   Bahwa teori strukturalisme sastra merupakan sebuh teori pendekatan terhadap teks-teks sastra yang menekankan keseluruhan relasi antara berbagai unsure teks.
3.   Perbedaan pendapat dalam teori  strukturalisme sendiri dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu strukturalisme formalis , strukturalisme genetik, strukturalisme dinamik yang pada dasarnya secara global strukturalisme menganut paham penulis paris yang dikembangkan oleh Ferdinand de Sausessure, yang memunculkan konsep bentuk dan makna ( sign and meaning). 
4.   Karya sastra yang dibangun atas dasar bahasa, memiliki ciri bentuk (form) dan isi (cntent) atau makna (significante) yang otonom. Artinya pemahaman karya sastra dapat diteliti dari teks sastra itu sendiri. Hanya saja, pemahaman harus mampu mengaitkan kebertautan antar unsur pembangun karya sastra. Kebertautan unsur itu akan membentuk sebuah makna utuh. Berarti prinsip menyeluruh sangat dipegang oleh kaum strukturalisme.
V.    Daftar Pustaka
Abrams,M.H. 1979. The Mirror and the lamp : Romantic Theory and the Critical
               Tradition. New York : Oxford University Press.
Hartoko,Dick dan B.Rahmanto.1984. Pemandu  di Dunia Sastra. Yogyakarya:
               Kanisius.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1993. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik,
               dan Penerapannya. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Ratna,Nyoman. 2009. Teori,Metode dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:
               Pustaka pelajar
Salden, Rahman.1991. Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini. Yogyakarta:
               Gajah Mada
Teeuw,A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra: pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
               Jaya- Giri Mukti Pustaka
Tuam,Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Nusa Indah
             Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1989. Teori Kesusastraan. Edisi Ketiga.
              Jakarta: PT.  Gramedia.

RESEPSI SASTRA

Posted by joko yulianto 2 komentar
RESEPSI SASTRA
Oleh:
1.      Endang Sri Maruti (117835041)
2.      Septy Rizki Amalia (117835076)

A.      Pendahuluan
Rezeptionaesthetik dapat diterjemahkan sebagai ‘resepsi sastra’ (bandingkan Teeuw, 1983) yang dapat disamakan sebagai literary response (Holland dalam Junus, 1985:1). Ia dapat juga diterjemahkan sebagai ‘penerimaan estetik’ sesuai dengan asthetic of reception. Untuk lebih singkatnya, dalam tulisan ini akan diterjemahkan sebagai resepsi sastra sesuai dengan Franco Meregalli (1980).
Teori resepsi (reception-theory) adalah teori sastra yang mementingkan tanggapan pembaca terhadap karya sastra, yakni tanggapan umum yang mungkin berubah-ubah, yang bersifat penafsiran dan penilaian terhadap karya sastra yang terbit dalam rentang waktu tertentu (Sudjiman, 1984:74). Di sini sudah cukup jelas bahwa teori resepsi ini mementingkan tanggapan pembaca yang muncul setelah pembaca menafsirkan dan menilai sebuah karya sastra.
Resepsi sastra adalah bagaimana “pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya (Junus, 1985:1). Lanjutnya, tanggapan ada dua macam, yakni tanggapan yang bersifat pasif dan tanggapan yang bersifat aktif. Pasif maksudnya adalah bagaiaman seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Tanggapan yang bersifat aktif, yaitu bagaimana pembaca “merealisasikan”-nya.
Munculnya penelitian resepsi sastra ini mengakibatkan terjadinya suatu perubahan (besar) dalam penelitian sastra, khususnya dalam ilmu sastra modern. Selama ini, penelitian sastra hanya ditekankan pada teks, dan dalam rangka memahami arti teks tersebut, seorang peneliti mungkin saja pergi kepada penulis (teks). Arti sebuah teks (karya sastra) dapat dilihat dengan hanya mempelajari teks itu sendiri. Pandangan lain menyebutkan bahwa arti suatu teks hanya dapat ditemui dengan menghubungkan teks itu dengan penulisnya.
Bertolak dari kedua pandangan tersebut, resepsi sastra mengambil sikap lain, dan inilah yang menyebabkan perubahan dalam penelitian sastra. Resepsi sastra memandang bahwa hakikat karya sastra itu bermakna polisemi, ambiguous. Penelitian ini akan mengungkap: (1) apa yang dilakukan pembaca dengan karya sastra, (2) apakah yang dilakukan karya sastra dengan pembacanya, dan (3) apa batas tugas pembaca sebagai pemberi makna. Ketiga masalah ini menandakan bahwa pembaca merupakan faktor hakiki yang menentukan makna karya sastra, dan bukan dari teks karya sastra maupun penulisnya.

B.       Pembahasan
Dalam pembahasan akan diuraikan tentang sejarah perkembangan teori resepsi sastra, penemu beserta pengembangnya, dan juga bagaimana konsep dari pengembang-pengembang tersebut. Terakhir akan diberi contoh analisis penelitian sastra dengan menggunakan teori resepsi.
1.        Sejarah Perkembangan Teori Resepsi Sastra
Sejarah teori sastra dimulai dari antologi mengenai teori respsi sastra oleh Rainer Warning (1975) yang memasukkan karangan sarjana-sarjana dari Jerman. Sarjana pertama yang karangannya dimuat oleh Warning adalah penelitian Leo Lowenthal sebelum Perang Dunia Kedua yang mempelajari penerimaan terhadap karya-karya Dostoyevski di Jerman. Tujuan penelitiannya adalah untuk mengetahui pandangan umum di Jerman ketika itu, dan bisa dikatakan bahwa ini juga merupakan pandangan dunia. Walaupun penelitian Lowenthal termasuk dalam penelitian sosiologi sastra, tetapi ia telah bertolak dari dasar yang kelak menjadi dasar teori resepsi sastra. Berdasarkan hasil penelitian Lowenthal ini, Warning (dalam Junus, 1985:29) memberikan konsep bahwa dalam teori resepsi sastra terhimpun sumbangan pembaca yang menentukan arah penelitian ilmu sastra yang mencari makna, modalitas, dan hasil pertemuan anatara karya dan khalayak melalui berbagai aspek dan cara.
Selanjutnya, Warning memasukkan karangan dua sarjana dari Jerman, yakni Ingarden dan Vodicka. Ingarden berbicara tentang kongkretisasi dan rekonstruksi. Berangkat dari hakikat suatu karya yang penuh dengan ketidakpastian estetika, hal ini bisa dipastikan melalui kongkretisasi, sedangkan ketidakpastian pandangan dapat dipastikan melalui rekonstruksi, kedua hal ini dilakukan oleh pembaca. Vodicka juga berangkat dari karya. Karya dilihat sebagai pusat kekuatan sejarah sastra. Pembaca bukan hanya terpaut oleh kehadiran karya sastra, tetapi juga oleh penerimaannya. Dalam menganalisis penerimaan suatu karya sastra, kita harus merekonstruksi kaidah sastra dan anggapan tentang sastra pada masa tertentu. Selanjutnya melakukan studi tentang kongkretisasi karya sastra, dan terakhir mengadakan studi tentang keluasan/kesan dari suatu karya ke dalam lapangan sastra/bukan sastra.
Michael Riffaterre (1959) dengan jelas mendasarkan analisis stilistika-nya kepada dunia pembacanya/penerimanya. Ia mengidentifikasi pembaca sebagai informan yang boleh “dipancing” untuk memberikan tanggapan, dan inilah yang disebut dengan Average Reader. Dengan ini, Riffaterre memang mempunyai pikiran yang sama dengan yang berkembang pada resepsi sastra, meskipun tidak meluas.
Demikianlah sejarah awal munculnya teori resepsi sastra, yang selanjutnya akan dirumuskan dan dikembangkan oleh Jausz dan Iser, serta dianggap sebagai teori resepsi sastra yang dianut saat ini. Hal ini akan dibicarakan pada bagian berikutnya.

2.        Konsep Teori Resepsi Sastra
Perkembangan resepsi sastra lebih bersemangat setelah munculnya pikiran-pikiran Jausz dan Iser yang dapat dianggap memberikan dasar teoretis dan epistemologis. Tumpuan perhatian dari teori sastra akan diberikan kepada teori yang mereka kembangkan.
Jausz memiliki pendekatan yang berbeda dengan Iser tentang resepsi sastra, walaupun keduanya sama-sama menumpukan perhatian kepada keaktifan pembaca dalam menggunakan imajinasi mereka. Jausz melihat a) bagaimana pembaca memahami suatu karya seperti yang terlihat dalam pernyataan/penilaian mereka dan b) peran karya tidak penting lagi. Yang terpenting di sini yaitu aktibitas pembaca itu sendiri. Sedangkan Iser a) lebih terbatas pada adanya pembacaan yang berkesan tanpa pembaca perlu mengatakanannya secara aktif dan b) karya memiliki peranan yang cukup besar. Bahkan kesan yang ada pada pembaca ditentukan oleh karya itu sendiri (Junus, 1985:49).

3.        Penerapan Teori Resepsi Sastra
Berikut ini akan disajikan sebuah contoh resepsi sastra tentang sajak-sajak Chairil Anwar oleh Rachmad Djoko Pradopo dalam bukunya yang berjudul Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya.
Sajak-sajak Chairil Anwar mulai terbit sampai sekarang mendapat resepsi positif maupun negatif yang disebabkan oleh horizon harapan pembaca. Dikemukakan Jassin dalam esainya yang berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 tahun 1962, bahwa Chairil muncul tahun 1943 membawa seberkas sajak untuk dimuat dalam Panji Pustaka, namun ditolak. Penolakan tersebut karena individualitas Chairil yang tercermin dalam sajak-sajaknya. Walaupun begitu, keindividualitas tersebut merupakan ciri khasnya dengan sastrawan lain. Hal tersebut tercontoh dalam
Kalau kau mau, kuterima kau kembali
Untukku sendiri tapi
sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Selain itu, sajak Chairil juga berjiwa revolusioner, seperti dalam sajak “Cerita duat Dien Tamaela”.
Jangan bikin beta marah
Beta bikin pala mati, gadis kaku
Beta kirim datu-datu!

Begitulan beberapa resepsi H.B.Jassin terhadap sajak-sajak Chairil Anwar yang terdapat kebaruan, ekspresivitas, dan pandangan dunia di dalamnya. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa H.B.Jassin memberi tanggapan secara positif kepada sajak-sajak Chairil Anwar. Ia memergunakan kriteria estetik dalam penilaiannya (dalam Junus, 2003:223—224).
            Berbeda halnya dengan direktur Panji Pustaka. Ia beranggapan negatif terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Ia menilai sajak-sajak Chairil bersifat individualis, kebarat-baratan, tidak sesuai adat ketimuran, dan tidak menggunakan kiasan-kiasan seperti kebiasaan sastra Indonesia lama.
            Jauh dari zaman itu, pada masa Pra-G30S, timbul penilaian baru terhadap Chairil Anwar dan sajak-sajaknya. Penilaian tersebut berasal dari Sitor Situmorang, tokoh LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional) dalam artikelnya yang berjudul Chairil Anwar dalam Alam Manipol. Dalam artikelnya tersebut, Situmorang menolak sajak-sajak Chairil karena tidak sesuai perkembangan Manipol. Isi dan bentuk yang dibawakan Chairil Anwar telah memenuhi syarat artistik, bahkan dapat dianggap tinggi. Namun isinya bertentangan dengan revolusi. Dikemukakan bahwa dalam dewasa itu, dalam menghargai Chairil harus disertai pembatasan dalam ruang dan waktu, dalam falsafah sastra maupun sejarah sastra. Ia juga menuliskan bahwa Chairil tidak turut berevolusi, karena memilih tetap tinggal di Jakarta di waktu pendudukan Belanda, sedangkan seniman-seniman lain pergi ke Yogya turut berjuang. Selain itu, dewasa ini Chairil terbatas sebagai “bahan” sejarah di bidang “teori”, itu pun sektor kolonial sejarah Indonesia. Berdasarkan artikel tersebut, Situmorang menganggap Chairil Anwar sebagai individualis tak bertanah air dan kosmopolitan versi Indonesia (dalam Junus, 2003:229).
            Satu lagi resepsi Sutan Takdir Alisjahbana tahun 1977 yang merupakan wakil dari resepsi Pujangga Baru. Ia menanggapi saja-sajak Chairil Anwar secara ekstentik maupun ekstra estentik. Dalam esainya yang berjudul Penilaian Chairil Anwar Kembali, STA menilai Chairil memebawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan kelincahan yang beru terhadap sastra Indonesia (dalam Junus, 2003:230).
Sesuai penilaian di atas, dapat disimpulkan bahwa sajak-sajak Chairil Anwar sepanjang sejarahnya selalu mendapat tanggapan dan resensi. Ada peresepsi yang menghargai positif, ada juga yang negatif. Akan tetapi, pada umumnya para peresepsi menilai sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, walaupun didasarkan horizon harapan masing-masing peresepsi.   
Bilbiografi


Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra: Sebuah pengantar. Gramedia:Jakarta.

Pradopo, Rachmad Djoko. 2003. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI

Posted by joko yulianto Senin, 17 Oktober 2011 0 komentar
KEBUDAYAAN SEBAGAI KONTEN DAN KONTEKS PENDIDIKAN
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI

FILSAFAT DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN

Dosen Pembimbing:
Dr. Budinuryanta Yohanes






logo unesa.jpg



Oleh:

Agus Paramuriyanto
Nim: 117835008


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
PASCAUNESA SURABAYA
2011/ 2012
PENDIDIKAN SEBAGAI AKULTURASI

A.    Pengantar
Berbicara mengenai pendidikan  sebagai akulturasi kita pasti akan berpikir tentang apa itu pendidikan? dan apa itu akulturasi? Pendidikan sebagai akulturasi merupakan anak pembahasan dari kebudayaan sebagai konten dan konteks pendidikan. Alangkah lebih baiknya kita pelajari tentang hal tersebut terlebih dahulu.

B.     Pendidikan sebagai konteks dan konten kebudayaan
1.        Pendidikan
Dihubungkan dengan pendidikan, yang memiliki pengertian sebagai sarana atau wadah dari kebudayaan dan tempat berkembangnya sebagian pengungkapan tentang kebudayaan. Kita kembali pada pemahaman bahwa pembuat kebudayaan adalah manusia. Dan pendidikan sebagai pamanusiawian karena pendidikan adalah wadah dari kebudayaan yang diciptakan oleh manusia. Jadi pendidikan itu adalah wadah untuk memanusiakan manusia, dengan mengajarkan  kebudayaan kepada penciptanya.
Menurut Ki Hajar Dewantara Tujuan pendidikan adalah memajukan kesempurnaan hidup peserta didik yaitu selaras dengan kodratnya, serasi dengan adat istiadat, dinamis, memperhatikan sejarah bangsa dan membuka diri pada pergaulan dengan kebudayaan lain. Sesuai maknanya yakni membantu manusia mengembangkan diri dan menyiapkan diri guna mengambil tempat semestinya dalam pengembangan masyarakat dan duniannya dihadapan sang Pencipta. Untuk memahami makna sejati pendidikan, orang harus mendalami arti hidup manusia ditengah alam semesta, diantara sesamanya, dan dihadapan tuhan YME. (wikipedia).
Pendidikan pada hakekatnya adalah proses pemanusiaan dan pemanusiawian, maka petugas utama proses pendidikan adalah si manusia peserta didik sendiri. Dan pembantu utama adalah orang tua, karena dalam setiap terjadinya manusia adalah kehendak Tuhan.
Selain itu adalah sudah menjadi kodrat manusia hak pertama atas proses pendidikan ada di tangan manusia dengan dengan melibatkan orang tua, masyarakat dan pemerintah. Untuk itu manusia membutuhkan pendidik. Sedangkan pendidik harus memiliki ilmu mendidik, psikologi, antropologi, kosmologi, filsafat dan teologi.
Guna membantu anak-anak menjadi manusia, orang tua memerlukan bantuan sekolah. Karena disekolah disediakan sebuah pelatihan menjadi manusia yang sudah terorganisir.
Pendidikan dikatakan berhasil apabila pendidikan itu yang membentuk manusia-manusia yang hidup sebagai manusia, bukan sekedar “mur-baut”, artinya adanya rasa saling menghargai antara manusia satu dengan manusia lainnya. Nah karena itulah kenapa pendidikan dikatakan sebagai pemanusiawian.
2.        Kebudayaan
Menurut Ki Hajar Dewantara, Kebudayaan adalah buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan terhadap 2 pengaruh yang kuat, yaitu alam dan zaman yang merupakan kebutuhan hidup manusia untuk mengatasi tantangan hidup dan kehidupan guna mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang bersifat tertib dan damai.
Dari pengertian diatas, secara filosofis dapat di jabarkan sebagai berikut; buah adalah hasil puncak dari proses kehidupan panjang dari awal hingga akhir yang berlangsung terus menerus. Misalnya, buah mangga dari tumbuhan mangga, buah mangga merupakan hasil puncak dari proses kehidupan tumbuhan mangga yang akan terus berlangsung.
Sedangkan budi adalah perpaduan antara akal dan perasaan. dan inilah yang menjadikan manusia berbeda dengan makhluk lainnya, yang hanya memiliki insting dan nafsu. Misalnya, kita melihat orang dijalanan dan merintih kelaparan, tanpa sengaja kita merasa tersentuh, atau merasa iba, kemudian kita mulai berpikir apakah kita akan membantu atau tidak? Setelah akal dan perasaan kita menyatu dengan sendirinya, akan timbul reaksi  dari perpaduan tersebut seperti kita akan membantu orang tersebut atau malah  mengacuhkan. Itu  kembali  pada  seberapa besar rasa simpatinya.
akal diartikan sebagai sebuah alat yang digunakan untuk berpikir. Dalam hal menilai, memahami, mangalisis, menyimpulkan, dsb. Dari akal itulah kita dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. Misalnya, kita melihat sebuah pencuri, dalam arti mengambil hak milik orang lain. Dari sini kita sudah bisa menilai, apakah hal itu termasuk hal yang baik atau sebaliknya, untuk memutuskan hal itu kita mulai berpikir menggunakan akal kita kemudian kita mengaitkannya dengan pelanggaran hak dan asasi manusia yang merupakan sesuatu yang seharusnya ditegakkan.
Sedangkan perasaan adalah penafsiran dari segala sesuatu yang kita rasakan. Perasaan berasal dari kata rasa yang berarti fell dari bahasa inggris. Namun fell disini bukan berarti insting atau naluri. Rasa sendiri sangat identik dengan yang namanya emosi, baik itu emosi yang positif ataupun yang negatif. Emosi sendiri merupakan bentuk dari rasa itu sendiri, seperti sayang, cinta, senang, suka, benci, dsb. Misalnya, segala sesuatu yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, dalam arti positif. Orang tua memiliki rasa sayang yang luar biasa yang kemudian diungkapkan dengan perlakuan mereka terhadap anak mereka.
Manusia adalah yang sudah sedikit dijelaskan dari pengertian kebudayaan secara filosofif diatas bahwa manusia itu merupakan makhluk berbudi yaitu memiliki akal dan perasaan, selain itu juga manusia merupakan  makhluk individu yang sosialis. Yang dimaksud dengan makhluk individu yang sosialis adalah manusia memiliki hak untuk hidup secara individu tapi manusia tidak dapat berkembang tanpa adanya interaksi dengan manusia lainnya atau bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dan dengan interaksi inilah akan timbul sebuah peradaban dan membentuk sebuah era atau zaman.
Maksud Alam menurut ki hajar dewantara disini adalah tempat hunian manusia namun lebih menekankan pada sifat dan cara alam berkembang yakni secara alami atau secara alamiah. Misalnya, alam berkembang dan terbentuk dengan sendirinya tanpa adanya campur tangan manusia. Jadi maksudnya, kebudayaan itu berkembang secara alamiah mengiringi perkembangan manusia dengan alam serta membudidayakan alam itu sendiri.
Zaman adalah satuan unit waktu, namun dalam pengertian kebudayaan zaman adalah satuan unit waktu yang didalamnya bersisi tentang perkembangan  peradaban manusia. Dan manusia membutuhkan perjuangan untuk hidup di dunia dan membuat peradaban hingga sekarang. Inilah kenapa Ki Hajar Dewantara mengatakan hal itu. Karena  untuk bertahan hidup, manusia harus berjuang melawan alam, memberdayakan alam, dan melestarikan alam dan  untuk menghadapi 2 faktor terberat manusia yaitu alam dan membuat peradaban di alam itu sendiri itulajh yang dimaksud perjuangan dalam menciptakan sebuah kebudayaan atau perdaban dan di ukur dengan zaman.
Jadi sesuai dengan pengertian kebudayan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantara, kebudayaan merupakan hasil puncak dari perpaduan dari akal dan perasaan manusia yang dibentuk secara alamiah dan diproses dalam  waktu  yang lama hingga   menjadi sebuah peradaban (zaman).

C.     Mengenal Sosok Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara Lahir di Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1889.Terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat. Ia berasal dari lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Raden Mas Soewardi Soeryaningrat, saat genap berusia 40 tahun menurut hitungan Tahun Caka, berganti nama menjadi Ki Hadjar Dewantara. Semenjak saat itu, ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun hatinya.
Perjalanan hidupnya benar-benar diwarnai perjuangan dan pengabdian demi kepentingan bangsanya. Ia menamatkan Sekolah Dasar di ELS (Sekolah Dasar Belanda) Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai wartawan di beberapa surat kabar antara lain Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya sangat komunikatif, tajam dan patriotik sehingga mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif dalam organisasi sosial dan politik. Pada tahun 1908, ia aktif di seksi propaganda Boedi Oetomo untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu itu mengenai pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Kemudian, bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo, ia mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia) pada tanggal 25 Desember 1912 yang bertujuan mencapai Indonesia merdeka. Mereka berusaha mendaftarkan organisasi ini untuk memperoleh status badan hukum pada pemerintah kolonial Belanda. Tetapi pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg berusaha menghalangi kehadiran partai ini dengan menolak pendaftaran itu pada tanggal 11 Maret 1913. Alasan penolakannya adalah karena organisasi ini dianggap dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan menggerakan kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda.
Kemudian setelah ditolaknya pendaftaran status badan hukum Indische Partij ia pun ikut membentuk Komite Bumipoetra pada November 1913. Komite itu sekaligus sebagai komite tandingan dari Komite Perayaan Seratus Tahun Kemerdekaan Bangsa Belanda. Komite Boemipoetra itu melancarkan kritik terhadap Pemerintah Belanda yang bermaksud merayakan seratus tahun bebasnya negeri Belanda dari penjajahan Prancis dengan menarik uang dari rakyat jajahannya untuk membiayai pesta perayaan tersebut.
Sehubungan dengan rencana perayaan itu, ia pun mengkritik lewat tulisan berjudul  Als Ik Eens Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda) dan Een voor Allen maar Ook Allen voor Een (Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga). Tulisan Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat dalam surat kabar de Expres milik dr. Douwes Dekker itu antara lain berbunyi:
“Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang kita sendiri telah merampas kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si Inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Pikiran untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka dan sekarang kita garuk pula kantongnya. Ayo teruskan penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda.  Apa yang menyinggung perasaanku dan kawan-kawan  sebangsaku  terutama ialah kenyataan bahwa bangsa Inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu pekerjaan yang ia sendiri tidak ada kepentingannya sedikitpun”.
Akibat karangannya itu, pemerintah kolonial Belanda melalui Gubernur Jendral Idenburg menjatuhkan hukuman tanpa proses pengadilan, berupa hukuman internering (hukum buang) yaitu sebuah hukuman dengan menunjuk sebuah tempat tinggal yang boleh bagi seseorang untuk bertempat tinggal. Ia pun dihukum buang ke Pulau Bangka.
Douwes Dekker dan Cipto Mangoenkoesoemo merasakan rekan seperjuangan diperlakukan tidak adil. Mereka pun menerbitkan tulisan yang bernada membela Soewardi. Tetapi pihak Belanda menganggap tulisan itu menghasut rakyat untuk memusuhi dan memberontak pada pemerinah kolonial. Akibatnya keduanya juga terkena hukuman internering. Douwes Dekker dibuang di Kupang dan Cipto Mangoenkoesoemo dibuang ke pulau Banda.
Namun mereka menghendaki dibuang ke Negeri Belanda karena di sana mereka bisa memperlajari banyak hal dari pada didaerah terpencil. Akhirnya mereka diijinkan ke Negeri Belanda sejak Agustus 1913 sebagai bagian dari pelaksanaan hukuman.
Kesempatan itu dipergunakan untuk mendalami masalah pendidikan dan pengajaran, sehingga Raden Mas Soewardi Soeryaningrat berhasil memperoleh Europeesche Akte. Kemudian ia kembali ke tanah air di tahun 1918. Di tanah air ia mencurahkan perhatian di bidang pendidikan sebagai bagian dari alat perjuangan meraih kemerdekaan.
Setelah pulang dari pengasingan, bersama rekan-rekan seperjuangannya, ia pun mendirikan sebuah perguruan yang bercorak nasional, Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa (Perguruan Nasional Tamansiswa) pada 3 Juli 1922. Perguruan ini sangat menekankan pendidikan rasa kebangsaan kepada peserta didik agar mereka mencintai bangsa dan tanah air dan berjuang untuk memperoleh kemerdekaan.
Tidak sedikit rintangan yang dihadapi dalam membina Taman Siswa. Pemerintah kolonial Belanda berupaya merintanginya dengan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Tetapi dengan kegigihan memperjuangkan haknya, sehingga ordonansi itu kemudian dicabut.
Di tengah keseriusannya mencurahkan perhatian dalam dunia pendidikan di Tamansiswa, ia juga tetap rajin menulis. Namun tema tulisannya beralih dari nuansa politik ke pendidikan dan kebudayaan berwawasan kebangsaan. Tulisannya berjumlah ratusan buah. Melalui tulisan-tulisan itulah dia berhasil meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, pada zaman Pendudukan Jepang, kegiatan di bidang politik dan pendidikan tetap dilanjutkan. Waktu Pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dalam tahun 1943, Ki Hajar duduk sebagai salah seorang pimpinan di samping Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta dan K.H. Mas Mansur.
Setelah zaman kemedekaan, Ki hajar Dewantara pernah menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan yang pertama. Nama Ki Hadjar Dewantara bukan saja diabadikan sebagai seorang tokoh dan pahlawan pendidikan (bapak Pendidikan Nasional) yang tanggal kelahirannya 2 Mei dijadikan hari Pendidikan Nasional, tetapi juga ditetapkan sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959. Penghargaan lain yang diterimanya adalah gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada pada tahun 1957.
Dua tahun setelah mendapat gelar Doctor Honoris Causa itu, ia meninggal dunia pada tanggal 28 April 1959 di Yogyakarta dan dimakamkan di sana. Kemudian oleh pihak penerus perguruan Taman Siswa, didirikan Museum Dewantara Kirti Griya, Yogyakarta, untuk melestarikan nilai-nilai semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara. Dalam museum ini terdapat benda-benda atau karya-karya Ki Hadjar sebagai pendiri Tamansiswa dan kiprahnya dalam kehidupan berbangsa. Koleksi museum yang berupa karya tulis atau konsep dan risalah-risalah penting serta data surat-menyurat semasa hidup Ki Hajar sebagai jurnalis, pendidik, budayawan dan sebagai seorang seniman telah direkam dalam mikrofilm dan dilaminasi atas bantuan Badan Arsip Nasional.
Bangsa ini perlu mewarisi buah pemikirannya tentang tujuan pendidikan yaitu memajukan bangsa secara keseluruhan tanpa membeda-bedakan agama, etnis, suku, budaya, adat, kebiasaan, status ekonomi, status sosial, dan sebagainya, serta harus didasarkan kepada nilai-nilai kemerdekaan yang asasi.
Hari lahirnya, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Ajarannya yang terkenal ialah tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), ing madya mangun karsa (di tengah menciptakan peluang untuk berprakarsa), ing ngarsa sungtulada (di depan memberi teladan). (wikipedia)

D.    Pendidikan sebagai Akulturasi
Sebagai mana pendidikan sudah dijelaskan diatas bahwa pendidikan adalah wadah dari pengapresiasian kebudayaan. Dan dalam pendidikan  juga  diajarkan  tentang  segala sesuatu yang berkaitan dengan  kebudayaan  yang  diciptakan oleh manusia untuk memanusiakan  manusia.
Menurut Ki Hajar Dewantara (1889-1959), hubungan Pendidikan dan Kebudayaan adalah upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti yang terintegrasi (batin, inteligensi dan tubuh) untuk memajukan kesempurnaan hidup selaras alam dan masyarakat.
Selanjutnya Pendidikan Nasional dinyatakan sebagai pandangan beralas garis hidup bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri kehidupannya yang mengangkat derajat negara dan rakyatnya, agar dapat bekerja sama dengan bangsa lain untuk kemuliaan seluruh dunia.
Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing (wikipedia). Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. Misalnya, dalam konteks pola pikir “time is money”, selogan ini di belahan dunia bagian barat sudah dijadikan sebuah kebudayaan hingga dijadikan prinsip hidup oleh orang-orang barat. Sekarang orang Indonesia ingin mengadopsi selogan tersebut, namun tidak menghilangkan kebudayaan ketimuran.
Artinya pemikiran mengenai “time is money” cenderung individualisnya sangat tinggi sedangkan kita cenderung meninggikan sosialis. Maka, dalam proses penyerapannya kita menjalankan prinsip time is money namun tetap bersosialis.
Dengan sub pembahasan pendidikan sebagai akulturasi itu sudah jelas adanya. Karena pendidikan itu sendiri sudah mengajarkan tentang ilmu-ilmu kebudayaan, mulai dari penyerapannya, penyajiannya, akulturasi dan inkulyurasi pun juga termasuk didalamnya. Misalnya, dalam sebuah forum atau sebuah bidang dari pendidikan yakni pembelajaran tentang ilmu teknologi, tanpa sadar kita sudah melakukan proses penyerapan kebudayaan yang kemudian diterapkan ke masyarakat. Dalam penyerapan budaya asing itu kita angkat pembelajaran ilmu teknologi, yang bersifat individualis. Sedangkan sosialisnya adalah menerapkan pada masyarakat atau berbagi pengetahuan dengan masyarakat.
Di dalam Al-Qur’an pun telah diterangkan oleh surat Al-Alaq dengan (iqra’) yang arinya bacalah, dan dalam hadits yang  cukup terkenal yaitu carilah ilmu sampai ke negri china, dari dua landasan tersebut  dapat  disimpulkan  bahwa pertama manusia diciptakan memang untuk belajar, dan yang kedua adalah belajar itu tidak ada batasan, artinya tidak ada batasan tempat da waktu untuk menutut lmu bagi manusia.
"العلم ينظروا الى الصين الأراضي" stidaH Al   

E.     Kesimpulan
Sehubungan dengan kebudayaan sebagai konteks dan konten pendidikan, maka dengan adanya penafsiran seperti itu sudah dapat disimpulkan bahwa simpulan  Pendidikan sebagai akulturasi itu memang benar. Karena, pendidikan merupakan sebuah wadah dan isi dari ilmu-ilmu tentang kebudayaan.


Referensi
A-Qur’an dan Al-Hadits
Kamus Besar Bahasa Indonesia 1990
Wikipedia.com