MULTILINGUAL, BILINGUAL, DAN DIGLOSIA
Rabu, 11 April 2012
5
komentar
MULTILINGUAL, BILINGUAL, DAN DIGLOSIA
Endang Sri Maruti (117835041)
Danar Takdir Prayogi (117835430)
A. Pendahuluan
Selintas, sosiolinguistik bisa menjadi sebuah bidang studi karena adanya pilihan dalam pemakaian bahasa. Bidang ilmu ini lebih dipusatkan pada kemungkinan adanya pilihan yang bisa dibuat di dalam masyarakat mengenai penggunaan varietas bahasa. Lalu munculah istilah bilingualisme ‘kedwibahasaan’ maupun multilingualisme kemasyarakatan (societal multilingualism) yang mengacu pada kenyataan bahwa dalam sebuah masyarakat bisa terdapat banyak pilihan bahasa. Terakhir, diglosia bisa muncul karena adanya variasi Tinggi (=T atau H ‘High’) dan Rendah (=R atau L’Low’).
Dalam bab ini, akan mengaji apa itu bilingualisme, multilingualisme, dan diglosia melalui pendekatan sosiolinguistik.
B. Kajian Teori
Dalam sub-bab ini akan dijelaskan beberapa teori tentang bilingualisme, multilingualisme, dan terakhir diglosia. Berikut penjelasannya.
1. Bilingualisme
Istilah bilingualisme (Inggris: bilingualism) dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya seseorang harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (disingkat B1), dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (disingkat B2).
Istilah bilingualisme adalah istilah yang pengertiannya bersifat relatif. Kerelativitasan ini muncul disebabkan batasan seseorang disebut multilingual bersifat arbitrer dan hampir tidak dapat ditentukan secara pasti. Mula-mula bilingualisme diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan dua bahasa sama baiknya oleh seorang penutur, namun pendapat ini makin lama makin tidak populer karena kriteria untuk menentukan sejauh mana seorang penutur dapat menggunakan bahasa sama baiknya tidak ada dasarnya sehingga sukar diukur dan hampir-hampir tidak dapat dilakukan (Suwito, 1983:40).
Istilah bilingualisme dalam bahasa Indonesia disebut juga kedwibahasaan (Chaer, 2004:84). Dari istilah yang dikemukakan oleh Chaer tersebut, dapat dipahami bahwa bilingualisme atau kedwibahasaan berkenaan dengan pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur dalam aktivitasnya sehari-hari.
Ada beberapa ahli yang menerangkan tentang pengertian kedwibahasaan atau bilingualisme. Salah satunya adalah Weinrich (Aslinda, dkk., 2007:23), ia menyebutkan kedwibahasaan sebagai ‘The practice of alternately using two language’, yaitu kebiasaan menggunakan dua bahasa atau lebih secara bergantian. Dalam penggunaan dua bahasa atau lebih, jika melihat pengertian menurut Weinrich, penutur tidak diharuskan menguasai kedua bahasa tersebut dengan kelancaran yang sama. Artinya bahasa kedua tidak dikuasai dengan lancar seperti halnya penguasaan terhadap bahasa pertama. Namun, penggunaan bahasa kedua tersebut kiranya hanya sebatas penggunaan sebagai akibat individu mengenal bahasa tersebut.
Hal di atas tidak sejalan dengan pengertian bilingualisme menurut Bloomfield (Chaer, 2004:85) yang mengemukakan bahwa kedwibahasaan adalah native like control of two languages. Menurut Bloomfiled mengenal dua bahasa berarti mampu menggunakan dua sistem kode secara baik. Pendapat Bloomfiled tersebut tidak disetujui atau masih banyak dipertanyakan karena syarat dari native like control of two languages berarti setiap bahasa dapat digunakakn dalam setiap keadaan dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti bahasa pertama yang digunakan penuturnya.
Selain kedua pengertian menurut dua ahli di atas, ada juga Diebold (Chaer, 2004:86) yang menyebutkan adanya bilingualisme atau kedwibasaan pada tingkat awal (incipient bilingualism). Menurut Diebold, bilingualisme tingkat awal ini ‘…yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama oleh anak-anak yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini bilingualisme masih sederhana dan dalam tingkat rendah’.
Jika melihat pernyataan Diebold, benar kiranya apabila kedwibahasaan yang banyak digunakan oleh orang-orang adalah kedwibahasaan atau bilingualisme pada tingkat awal. Dalam kegiatan sehari-hari tentunya kita pun tanpa disadari hampir selalu melaksanakan bilingualisme pada tingkat awal ini. Namun, kebanyakan orang pada masa sekarang cenderung tidak menguasai kedua bahasa yang digunakannya dengan tepat.
Selain itu, Chaer (2004:86) mengutip pendapat Lado bahwasanya bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang sama baik atau hampir sama baiknya, yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya. Pendapat Lado tersebut rasanya mendukung pernyataan Diebold tentangincipient bilingualisme, karena Lado tidak menyebutkan sebagaimana Bloomfiled bahwa penguasaan seseorang yang menganut bilingualisme terhadap bahasa keduanya harus sama dengan bahasa pertama yang digunakan.
Selanjutnya, Mackey dan Fishman (Chaer, 2004:87), menyatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian, dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain, oleh seorang penutur. Menurut Mackey dan Fishman, dalam membicarakan kedwibahasan tercakup beberapa pengertian, seperti masalah tingkat, fungsi, pertukaran/alih kode, percampuran/campur kode, interferensi, dan integrasi. Pengertian bilingualisme menurut Mackey dan Fishman inilah yang dirasa sangat relevan bagi penulis.
Dari beberapa pengertian bilingualisme oleh beberapa ahli di atas, konsep umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain. Hal ini tentunya akan menimbulkan sejumlah masalah. Masalah-masalah tersebut di antaranya adalah sebagai berikut lengkap beserta penjelasannya.
a. Taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual. Bilingualisme merupakan satu rentangn berjenjang mulai menguasai B1, kemudian tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 sama baiknya dengan B1.
b. Pengertian bahasa di dalam bilingualisme itu sangat luas, dari bahasa dalam pengertian langue, seperti bahasa Jawa dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Surabaya dan bahasa Jawa dialek Banyumas.
c. Waktu yang tepat untuk menggunakan B1 dan harus menggunakan B2 bergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial pembicaraan. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tidaklah bebas.
d. B1 seorang bilingualis bisa mempengaruhi B2-nya atau juga sebaliknya. Masalah ini menyangkut masalah kefasihan menggunakan bahasa itu dan kesempatan untuk menggunakannya.
e. Bilingualisme bisa terjadi pada individu dan juga pada kelompok.
2. Multilingualimse
Istilah “bilingualisme” (kedwibahasaan) sering dianggap sama dengan istilah “multilingualisme” (kemultibahasaan), yaitu istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan penggunaan lebih dari satu bahasa oleh individu, kelompok, atau masyarakat (regional, nasional, bangsa, dan negara).
Multilingualisme lebih merujuk pada penggambaran seorang penutur yang menguasai lebih dari dua bahasa, bisa tiga bahasa, atau empat, bahkan lima bahasa sekaligus. Penggunaanya hampir sama dengan bilingualisme, yakni tahu kapan dan di mana suatu bahasa akan digunakan. Misalnya saja orang Jawa, selain mampu berbahasa Jawa (sebagai bahasa ibunya), juga mampu berbahasa Indonesia sebagai B2, dan bahasa Inggris sebagai B3, bahkan ada beberapa yang bisa bahasa Jepang, Belanda, dan sebagainya.
3. Diglosia
Permasalahan mengenai kedwibahasaan kiranya terasa erat sekali dengan perkembangan kebahasaan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan bangsa Indonesia menggunakan lebih dari satu bahasa, yaitu bahasa ibu mereka (bahasa daerah) dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Penggunaan bahasa daerah disebut juga sebagai penggunaan bahasa pertama, sementara penggunaan bahasa Indonesia disebut juga sebagai penggunaan bahasa kedua. Penggunaan bahasa yang seperti itu disebut sebagai diglosia (Aslinda, dkk., 2007:26).
Kata diglosia berasal dari bahasa prancis diglossie, yang pernah digunakan oleh Marcais, seorang lingu Prancis: tetapi istilah itu menjadi terkenal dalam studi sosiolingustik setelah digunakan oleh seorang swarjana dari Stanford University, yaitu C.A. Ferguson tahun 1958 dalam suatu symposium tentang “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar” yang diselenggarakan oleh American Anthropological Association di Washinton DC. Kemudian Ferguson menjadikan lebih terkenal lagi istilah tersebut dengan sebuah artikelnya yang berjudul “diglosia”.
Ferguson menggunakan istilah diglosia untuk menyatakan keadaan suatu masyarakat di mana terdapat du variasi dari satu bahasa yang hidup berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu. Diglosia ini dijelaskan oleh Ferguson dengan mengetangahkan sembilan topic, yakni sebagai berikut.
1) Fungsi
Merupakan kriteria diglosia yang sangat penting. Menurut Ferguson dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dari satu bahasa. Variasi pertama disebut dialek tinggi (disingkat dialek T atau ragam T), dan yang kedua disebut dialek rendah (disingkat dialek R atau ragam R).
2) Prestise
Dalam masyarakat diglosis para penutur biasanya menggunakan dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang, dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap inferior, malahan ada yang menolak keberadaannya.
3) Warisan Kesusastraan
Pada tiga dari empat bahasa yang digunakan Ferguson sebagai contoh terdapat kesusastraan di mana ragam T yang digunakan dan dihormati oleh masyarakat bahasa tersebut. Kalau ada juga karya sastra kontemporer dengan menggunakan ragam T, maka dirasakan sebagai kelanjutan dari tradisi itu, yakni bahwa karya sastra harus dalam ragam T. Tradisi kesusastraan yang selalu dalam ragam T ini (setidaknya dalam empat contoh di atas) menyebabkan kesusastraan itu tetap berakar, baik di negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani, bahasa Prancis, dan bahasa Jerman.
4) Pemerolehan
Ragam T diperoleh dengan mempelajarinya dalam pendidikan formal, sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan.
5) Standardisasi
Ragam T dipandang sebagai ragam yang bergengsi, maka tidak mengherankan kalau standardisasi dilakukan terhadap ragam T tersebut melalui kodifikasi formal.
6) Stabilitas
Kestabilan dalam masyarakat diglosia biasanya telah berlangsung lama, dimana ada sebuah variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya dalam masyarakat itu.
7) Gramatika
Dalam ragam T adanya kalimat-kalimat kompleks dengan sejumlah konstruksi subordinasi adalah hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artivisial.
8) Leksikon
Sebagian besar kosakata pada ragam T dan ragam R adalah sama. Namun, ada kosakata pada ragam T yang tidak ada pasangannya pada ragam R, atau sebaliknya.
9) Fonologi
Dalam bidang fonologi ada perbedaan struktural antara ragam T dan ragam R. Perbedaan tersebut bisa dekat bisa juga jauh.
Pengertian diglosia boleh dikatakan sama dengan bilingualisme, tetapi diglosia lebih cenderung dipakai untuk menunjukkan keadaan masyarakat tutur, yakni terjadinya alokasi fungsi dari dua bahasa atau ragam. Berkenaan dengan hal di atas, Ferguson (Alwasilah, 1990:136) memberikan batasan diglosia seperti di bawah ini.
Diglosia adalah suatu situasi bahasa yang relatif stabil di mana, selain dari dialek-dialek utama suatu bahasa (yang mungkin mencakup satu bahasa baku atau bahasa-bahasa baku regional), ada ragam bahasa yang sangat berbeda, sangat terkodifikasikan (sering kali secara gramatik lebih kompleks) dan lebih tinggi, sebagai wahana dalam keseluruhan kesusasteraan tertulis yang luas dan dihormati, baik pada kurun waktu terdahulu maupun pada masyarakat ujaran lain, yang banyak dipelajari lewat pendidikan formal dan banyak dipergunakan dalam tujuan-tujuan tertulis dan ujaran resmi, tapi tidak dipakai oleh bagian masyarakat apa pun dalam pembicaraan-pembicaraan biasa.
Dari penjelasan di atas, persoalan-persoalan yang menyangkut diglosia adalah persoalan dialek yang terdapat dalam masyarakat tutur, misalnya dalam suatu bahasa terdapat dua variasi bahasa yang masing-masing ragamnya mempunyai peranan dan fungsi tertentu. Penggunaan ragam-ragam variasi tersebut bergantung kepada situasi.
Namun, menurut Fishman dalam Sumarsono (2007:39), pengertian diglosia seperti telah dibahas di atas merupakan teori yang sudah dianggap klasik. Lalu Fishman mengembangkan gagasan peran atau fungsi itu ke wilayah yang lebih luas. Menurutnya, diglosia adalah obyek sosiolinguistik yang mengacu kepada pendistribusian lebih dari satu ragam bahasa atau bahasa yang mempunyai tugas-tugas komunikasi berbeda dalam suatu masyarakat. Fishman mengacu kepada perbedaan linguistik, bagaimanapun bentuk dan wujudnya, mulai dari perbedaan gaya dalam satu bahasa sampai kepada penggunaan dua bahasa yang sangat berbeda. Menurut Fishman, yang penting dalam hal ini adalah masing-masing ragam itu mempunyai fungsi yang berbeda dan dalam ranah yang berbeda pula.
Dicontohkan Sumarsono (2007:40), di sebuah kota besar di Indonesia terdapat beberapa suku bangsa dengan bahasa daerah masing-masing di samping bahasa Indonesia. Menurut Sumarsono, fungsi bahasa daerah berbeda dengan bahasa Indonesia dan masing-masing mempunyai ranah yang berbeda pula. Bahasa daerah membangun suasana kekeluargaan, keakraban, kesantaian, dan dipakai dalam ranah kerumahtanggaan, ketetanggaan, dan kekariban, sedangkan bahasa Indonesia membangun suasana formal, resmi, kenasionalan, dan dipakai misalnya dalam ranah persekolahan (sebagai bahasa pengantar), ranah kerja (bahasa resmi dalam rapat), dan dalam ranah keagamaan (khotbah).
Ciri-ciri situasi diglosia yang paling penting adalah pengkhususan fungsi masing-masing ragam bahasa. Ragam bahasa tinggi khusus digunakan dalam situasi-situasi formal seperti kegiatan keagamaan, pidato-pidato, kuliah, siaran berita, atau pada tajuk rencana dalam surat kabar. Sebaliknya, ragam bahasa rendah biasa digunakan dalam situasi-situasi santai seperti percakapan sehari-hari dalam keluarga, antara teman, cerita bersambung dalam radio, atau dalam sastra rakyat.
Dalam situasi diglosia akan kita jumpai adanya tingkat-tingkat bahasa dalam beberapa bahasa daerah di Indonesia, seperti bahasa Jawa, Sunda, Bali, Madura, yang masing-masing mempunyai nama. Dalam masyarakat Sunda dikenal undak usuk basa, di dalamnya terdapat aturan tata bahasa yang mengatur tingkatan ragam bahasa rendah dan ragam bahasa tinggi seperti basa cohag (ragam kasar), basa loma (ragam untuk sesama), basa sedeng (ragam sedang atau tengah), basa lemes (ragam halus). Di Jawa terdapat bahasa ngoko (tingkat paling rendah), krama (tengah), krama inggil (tingkat tinggi). Keduanya mempunyai ukuran baku masing-masing dan diakui oleh masyarakat pemakainya.
Pakar sosiologi, Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia ini menjadi apa yang disebutkan broad diglosia (diglosia luas). Di dalam konsep broad diglosia perbedaan itu tidak hanya antara dua bahasa atau dua ragam atau dua dialek secara binern melainkan bisa lebih dari dua bahasa atau dua dialek itu. Dengan demikian termasuk juga keadaan masyarakat yang di dalamnya ada diperbedakan tingkatan fungsi kebahasaan, sehingga muncullah apa yang disebut Fasold diglosia ganda dalam bentuk yang disebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia, dan linear polyglosia (Chaer, 2004:98).
Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Misalnya saja dalam masyarakat Indonesia, pada suatu siuasi, bahasa Indonesia adalah bahasa T, dan yang menjadi bahasa R-nya adalah bahasa daerah. Pada situasi lain bahasa Indonesia menjadi bahasa R, dan bahasa T-nya adalah bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia mempunyai status ganda.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, di mana terdapat dua bahasa yang diperbedakan, satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa R maupun T masing-masing mempunyai ragam atau dialek yang juga diberi status R atau T. Contohnya, bahasa Jawa dianggap sebagai bahasa R dan bahasa T-nya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Jawa sebagai bahasa T mempunyai ragam bahasa seperti basa krama yang diberi status ragam T dan basa ngoko yang berstatus R. Dalam bahasa Indonesia juga seperti itu, ragam baku dianggap T, dan ragam non-baku dianggap ragam R.
Linear polyglosia adalah situasi kebahasaan yang pembedaan kederajatannya tidak menggunakan model biner, tetapi berdasarkan sikap penutur. Misalnya saja, masyarakat Cina di Indonesia. Berdasarkan sikap orang Cina yang terdidik, bahasa Indonesia dianggap bahasa T, bahasa Mandarin dianggap bahasa DH (dummy high) yang berarti walaupun termasuk ragam T, tetapi penggunaanya terbatas, dan bahasa Daerah termasuk ragam R.
C. Analisis dan Pembahasan
Dalam analisis serta pembahasan, akan diberikan contoh tentang hubungan antara bilingualisme dan diglosia. Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa kedwibahasaan dan diglosia berhubungan dengan penguasaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat, berikut ini dikemukakan hubungan keduanya berdasarkan Fishman (1977).
1. Bilingualisme dan Diglosia
Masyarakat bilingual dan diglosis yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, namun masing-masing bahasa mempunyai peranannya masing-masing. Contohnya masyarakat Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bahasa daerah sebagai bahasa intrakelompok. Seperti dalam data di bawah ini.
(1) Sabar, pertanyaan Panjenengan pasti terjawab semua!
Dalam kalimat tersebut penutur mengetahui ragam dan fungsinya dengan baik. Kata panjenengan termasuk ragam bahasa Jawa T dan digunakan untuk menghormati orang yang lebih tua maupun yang lebih tinggi kedudukannya.
Contoh lain misalnya, seorang artis yang sedang melakukan wawancara, sering menggunakan bilingualisme dan juga diglosia. Faktor diglosia lebih pada hal prestise.
(2) Saya berencana akan go international tahun ini.
Go international menunjukkan prestise seorang artis yang menganggap bahwa bahasa Inggris adalah bahasa T, dan bahasa Indonesia adalah bahasa R-nya. Selain contoh di atas, orang Madura yang berkomunikasi dengan orang Jawa sering menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa dengan menggunakan logat Madura. Seperti pada data berikut.
(3) Sampeyan mau beli sate berapa tusuk?
Kata sampeyan dalam bahasa Madura dan bahasa Jawa fungsinya sama, yaitu untuk komunikasi dengan orang yang tidak dikenal, maupun orang yang lebih muda tetapi tetap disegani. Hal ini sudah termasuk pada diglosia, dan untuk mendukung ke-diglosia-nya ini, penutur mengucapkan tuturan tersebut dengan logat Madura. Selanjutnya penutur menggunakan bahasa Indonesia yang menunjukkan ke-bilingual-nya.
2. Bilingualisme tanpa Diglosia
Masyarakat bilingual tetapi takdiglosis yaitu masyarakat yang menguasai dua bahasa atau lebih yang digunakan secara bergantian, dengan masing-masing bahasa memiliki peranan yang sama. Hal ini terlihat pada data di bawah ini.
(4) Jangan nesu-nesu gitu ta ya ya!
5 komentar:
terimakasih postingannya sangat bermanfaat :)
Postingan ini lengkap, atau masih ada lanjutannya?
Thanks for material that you provide Mas joko, I am very grateful. Actually today I have to present my paper entitled Diglossia, bilingualism, and multilingualism to all students in sociolinguistics class. The presentation score will be includeded as a final score. Blessing from your post, finally it did it well
makasih bro
Gak valid ini gak ada kutipan pakar
Posting Komentar