KURIKULUM PENDIDIKAN NASIONAL: MENUJU PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Minggu, 20 November 2011
0
komentar
KURIKULUM PENDIDIKAN NASIONAL:
MENUJU PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Endang Sri Maruti
117835041
A. Pendahuluan
Sampai saat ini persoalan pendidikan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan tersebut telah dan terus dilakukan, mulai dari berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru, penyempurnaan kurikulum secara periodik, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, sampai dengan peningkatan mutu manajemen sekolah, namun indikator ke arah mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Upaya-upaya tersebut ditempuh dalam rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tuntutan kebutuhan masa depan yang akan dihadapi siswa sebagai warga bangsa agar mereka mampu berpikir global dan bertindak sesuai dengan karakteristik dan potensi lokal (think globally but act locally).
Upaya pokoknya adalah pada pembaruan kurikulum pendidikan. Sebagai usaha terencana, pembaruan kurikulum tentulah didasari oleh alasan yang jelas dan substantif serta mengarah pada terwujudnya sosok kurikulum yang lebih baik, dalam arti yang seluas-luasnya, dan bukan sekadar demi perubahan itu sendiri. Ini berarti, pembaruan kurikulum selayaknya diabdikan pada terwujudnya sumber daya manusia yang berkualitas, baik dalam kaitannya dengan studi lanjut, memasuki dunia kerja, maupun belajar mandiri.
Sebelum tahun 2004, Indonesia menerapkan kurikulum-kurikulum yang berbasis materi. Seiring dengan perubahan dan tuntutan masa depan, maka Pemerintah Indonesia mengambil sebuah langkah besar yakni mulai beranjak pada kurikulum berbasis kompetensi bukan berbasis materi. Kurikulum berbasis kompetensi (KBK) mulai disosialisasikan sejak pertengahan tahun 2001 oleh Departemen Pendidikan Nasional, dan sudah diterapkan secara resmi pada tahun 2004/2005. Kemudian kurikulum ini disempurnakan menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang dilaksanakan mulai tahun 2006/2007.
Sistem pendidikan nasional hakikatnya terdiri dari tiga unsur yang saling berurutan dan berkesinambungan, yaitu: (1) landasan pendidikan; (2) isi pendidikan; dan (3) manajemen pendidikan. Landasan pendidikan bersifat filosofis, paradigmatis, yuridis formal, dan juga kontekstual, sehingga unsur yang pertama ini melandasi unsur-unsur yang lain. Terakhir, manajemen pendidikan bersifat operasional yang sesuai dengan substansial dan juga landasan filosofis pendidikan nasional.
Perubahan kurikulum terjadi pada unsur yang kedua, yakni pada tataran isi pendidikan. Isi pendidikan lebih bersifat substansial berdasarkan landasan filosofis. Perlu digarisbawahi bahwa perubahan kurikulum itu juga terjadi karena adanya perubahan landasan filsafat pendidikan Indonesia. Alwasilah (2010:16) menegaskan bahwa isi pendidikan yang ada dalam kurikulum dan segala yang diajarkan oleh guru di kelas merupakan cerminan filsafat yang dipercayai oleh masyarakatnya. Apakah kurikulum baru tersebut sudah mengandung dan sesuai filsafat pendidikan?
Gandhi (2011:124) menyebutkan bahwa pendidikan di Indonesia saat ini bisa diungkap nyaris tanpa dasar landasan filsafat pendidikan yang jelas. Jadi, inilah tugas pengembang kurikulum, harus mampu memperhatikan dan menyesuaikan dengan filsafat apa yang dianut oleh sistem pendidikan, dan tidak hanya melakukan perubahan-perubahan dengan hanya berpedoman pada pengetahuannya tentang kurikulum saja.
KTSP yang diterapkan saat ini sudah cukup bagus, yakni disusun berdasarkan potensi dan kebutuhan masing-masing peserta didik dan lingkungannya. Perlu juga dipertimbangkan bahwa Indonesia merupakan negara yang multi-kultur. Lalu, sudahkan KTSP ini menjadi kurikulum berbasis kompetensi yang multi-kultur?
B. Kurikulum dalam Sistem Pendidikan Nasional
Isi pendidikan direalisir melalui kurikulum. Kurikulum memberi bekal pengetahuan, sikap, dan keterampilan kepada peserta didik. Makna ini tersirat dalam arti kata dan deskripsi kurikulum yang diberikan oleh para ahli. Istilah kurikulum asal mulanya dari dunia olah raga pada zaman Yunani Kuno, yaitu curriculum. Curir dalam bahasa Yunani Kuno berarti “pelari” dan curere artinya “tempat berpacu”. Kurikulum kemudian diartikan “jarak yang harus ditempuh” oleh para pelari. Berdasarkan arti yang terkandung di dalam rumusan tersebut, kurikulum dalam pendidikan dianalogikan sebagai arena tempat peserta didik “berlari” untuk mencapai “finis”, berupa ijazah, diploma, atau gelar (Tim Dosen FIP, 2005:89).
Kurikulum adalah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari oleh siswa untuk memperoleh sejumlah pengetahuan (Hamalik, 2003:16). Kurikulum di sini diartikan sebagai mata pelajaran yang diajarkan untuk memperoleh pengetahuan. Berbeda dengan pengertian ini, Nasution (1999:5) mendefinisikan kurikulum sebagai segala usaha sekolah untuk mempengaruhi anak belajar bisa dalam ruangan kelas, di halaman sekolah ataupun di luar sekolah. Kurikulum di sini bertujuan untuk memengaruhi siswa supaya mau belajar.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, pengertian kurikulum disatukan dan dirucutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (//http:/aliusmanhs.wordpress.com//).
Dalam bab X pasal 36 dijelaskan bahwa: (1) Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional; (2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik; (3) Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:
a. peningkatan iman dan takwa;
b. peningkatan akhlak mulia;
c. peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat peserta didik;
d. keragaman potensi daerah dan lingkungan;
e. tuntutan pembangunan daerah dan nasional;
f. tuntutan dunia kerja;
g. perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
h. agama;
i. dinamika perkembangan global;
j. persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan;
k. kondisi sosial budaya masyarakat setempat;
l. kesetaraan gender; dan
m. karakteristik satuan pendidikan.
Berdasarkan penjelasan di atas, KTSP merupakan kurikulum yang berbasis pada budaya lokal. KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan potensi dan juga kebutuhan (Muslich, 2008:18). Hal ini mengisyaratkan bahwa KTSP disusun berdasarkan potensi dan kebutuhan lokal. Maka dari itu, KTSP disusun oleh tingkat satuan pendidikan masing-masing, dalam hal ini adalah sekolah yang bersangkutan. Tetapi kenyataannya penyusunan KTSP tetap saja mengacu pada rambu-rambu nasional, dan parahnya sistem evaluasinya yang masih juga dibuat oleh pemerintah pusat.
C. Pendidikan Multikultural
Multikulturalisme mengandung konsep yang mirip dengan pluralisme. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2000:762), multikulturaslime berarti “gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan”. Sedangkan pluralisme didefinisikan “sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya)”. Menurut dua definisi ini, pluralisme sifatnya lebih menekankan adanya perbedaan dalam struktur manusia baik sosial maupun politik. Sedangkan multikulturalisme lebih menekankan pada sikap untuk mengakui perbedaan sosial dan kebudayaan dalam rangka membentuk kehidupan bersama.
Salah satu perangkat efektif untuk mewujudkan kesadaran dan kesedererajatan dalam keberagaman adalah konsep pendidikan multikultural. Pendidikan multikultural merupakan konsep pendidikan yang muncul pada masa setelah Perang Dunia II. Pendidikan multikultural merupakan gejala baru di dalam pergaulan umat manusia yang mendambakan persamaan hak, termasuk hak untuk mendapatkan pendidikan yang sama bagi semua orang. Pendidikan multikultural menjadi acuan beberapa negara, baik di Amerika, Eropa, Asia, dan Australia yang penduduknya relatif heterogen.
Tokoh pendidikan multikultural (dan pluralisme) di Indonesia adalah K.H. Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur. Gagasan dan tindakannya yang cenderung fenomenal namun mampu mendobrak pola pikir dan indentik dengan pembela kaum lemah serta termarjinalkan (terpinggirkan), baik dari segi agama maupun etnis.
Tilaar (2004:122), menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan multikultural adalah sebuah konsep, kerangka kerja, cara berfikir, sebuah sudut pandang filosofis, berorientasikan nilai, dan diatur untuk bisa melayani kebutuhan pendidikan budaya siswa yang beragam dengan baik. Sedangkan menurut Asyarie (dalam Tilaar, 2004:124) yang dimaksud dengan pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural. Dengan pendidikan multikultural, diharapkan adanya kekenyalan dan kelenturan mental bangsa menghadapi benturan konflik sosial, sehingga persatuan bangsa tidak mudah patah dan retak.
Menurut Banks seperti yang dikutip Tilaar (2004:182) terdapat lima tipologi pendidikan multikultural yang berkembang, yakni :
1. Mengajar mengenai kelompok siswa yang memiliki budaya yang lain (cultural difference)
2. Hubungan manusia (human relation), membantu siswa dalam melakukan percampuran antar kelompok
3. Single group studies, yakni program yang mengajarkan hal-hal yang memajukan pluralisme tetapi tidak menekankan adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat.
4. Pendidikan multikultural, reformasi pendidikan yang menyediakan kurikulum serta materi pelajaran yang menekankan kepada adanya perbedaan siswa dalam bahasa, yang keseluruhannya untuk memajukan pluralisme kebudayaan dan ekualitas sosial.
5. Pendidikan multikultural yang sifatnya rekonstruksi sosial, dengan tujuan menyatukan keberagaman dan menantang ketimpangan sosial yang ada dalam masyarakat.
D. Kurikulum Pendidikan Nasional menuju Pendidikan Multikultural
Berbagai konsep yang berkaitan dengan multikulturalisme antara lain: demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos kerja, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, suku bangsa dan kesukubangsaan, kebudayaan etnik, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan.
Berdasarkan konsep-konsep itu, Indonesia berpotensi besar untuk menerapkan pendidikan multikultural. Indonesia memiliki banyak deferensiasi sosial dalam bentuk perbedaan etnis, sosial, budaya, agama, dan sebagainya. Multikulturallisme merupakan paham yang mengakui perbedaan/keberagaman dalam suatu bingkai kebersamaan dan kesederajatan (Tilaar, 2004:84).
Sistem pendidikan nasional lebih bercirikan ”keseragaman” berlandaskan pada budaya nasional, berdiri di atas puncak-puncak kebudayaan daerah. Pendidikan diselenggarakan dengan aturan dalam konteks mayoritas yang bersaing dan berhadap dengan minoritas dan dikelola oleh pemerintah untuk meluaskan atau mempersempit hal-hal yang substansi atau penting yang menyangkut dengan lingkup dan alokasi kewenangan. Untuk itulah pengembangan kurikulum kita harus sudah menuju pada kurikulum pendidikan multikultural.
Kurikulum pendidikan multikultural berlandaskan pada filsafat pendidikan fundamental, yakni menekankan watak bermoral, berpusat pada pembaruan ke arah pola-pola kebudayaan sebelumnya, dan menekankan pewarisan moral. (O’neil, 2008:511).
Hal ini sesuai dengan Pasal 4 UU N0. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal ini menjelaskan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Merujuk pada materi UU Sisdiknas ini maka tujuan pendidikan multikultural adalah menanamkan sikap simpati, respek, apresiasi, dan empati terhadap penganut agama dan kultural yang berbeda. Sejatinya, pendidikan multikultural adalah sebuah konsep yang dibuat dengan tujuan untuk menciptakan persamaan peluang pendidikan bagi semua siswa yang berbhineka ras, etnik, kelas sosial dan kelompok budaya.
Lalu, bagaimana membangun konsep pendidikan multikultural untuk Indonesia? Terdapat enam konsep yang ditawarkan Tilaar (2004:185-191), untuk membangun konsep pendidikan multikultural di Indonesia, yakni:
1. “Right to culture” dan identitas budaya lokal, sebagai manifestasi jawaban globalisasi. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan menunjukan identitas kebudayaan.
2. Kebudayaan Indonesia-yang-menjadi, yakni mewujudkan sistem nilai keindonesiaan di tengah sistem keberagaman.
3. Konsep pendidikan multikultural normatif, bukan sekedar deskriptif. Pendidikan multikultural normatif tidak hanya mendeskripsikan adanya pluralitas, melainkan misi untuk mewujudkan kebudayaan Indonesia yang dimiliki oleh suatu negara-bangsa.
4. Pendidikan multikultural merupakan suatu rekonstruksi sosial, yakni sebagai alat untuk melihat kembali kehidupan sosial yang ada dewasa ini.
5. Pendidikan multikultural di Indonesia memerlukan pedagogik baru, yang tidak hanya terbatas dalam pendidikan sekolah. Pedagogik baru telah mengembangkan pemberdayaan dan kesetaraan sesama manusia dengan keberagaman budaya.
6. Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa.
Untuk mendukung terlaksananya enam konsep pendidikan multikultural, idealnya dilakukan beberapa program prioritas pendidikan multikultural. Beberapa pengembangan yang bisa dilakukan adalah menjadikan lembaga-lembaga pendidikan sebagai pusat budaya, menyusun kurikulum kewarganegaraan, penyusunan kurikulum pendidikan multikultural, kebijakan perbukuan, dan pendidikan guru. Dalam sistem pendidikan, pendidikan multikultural melibatkan seluruh bagian sistem pendidikan yang ada. Masing-masing mata pelajaran tidak bisa dipandang secara parsial, melainkan mempunyai hubungan yang sifatnya interdisiplin, atau justru integral. Masing-masing bidang studi mempunyai misi dan tugas untuk mengembangkan pendidikan multikultural sesuai dengan relevansinya.
Penyusunan silabus pendidikan multikultural berbasis kompetensi dapat dilakukan dengan melibatkan para ahli atau instansi yang relevan di daerah setempat seperti tokoh masyarakat, budayawan, tokoh agama, akademisi, psikolog, instansi pemerintah, instansi swasta termasuk perusahaan dan industri. Dengan demikian daerah atau sekolah memiliki cukup wewenang untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan, pengelolaan pengalaman belajar, cara mengajar dan menilai
keberhasilan suatu proses belajar dan mengajar.
keberhasilan suatu proses belajar dan mengajar.
Kurikulum dalam pendidikan multikultural harus menawarkan kontens (isi materi) yang merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang. Kurikulum multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Kurikulum multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama. Kurikulum yang multi-kultur mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Kurikulum dicapai sesuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut pandang kebudayaan yang berbeda-beda. Kurikulum multikultural harus mendukung prinsip-prinisip pokok dalam memberantas pandangan klise tentang ras, budaya dan agama. Kurikulum yang multi-kultur mencerminkan keseimbangan antara pemahaman persamaan dan perbedaan budaya mendorong individu untuk mempertahankan dan memperluas wawasan budaya dan kebudayaan mereka sendiri.
Dalam pendidikan formal pendidikan multikultural ini dapat diintegrasikan dalam sistem pendidikan melalui kurikulum mulai pendidikan usia dini (PAUD), pendidikan dasar, pendidikan menengah, bahkan perguruan tinggi. Pada pendidikan anak usia dini, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam Out Bond misalnya. Pada pendidikan dasar dan menengah, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam materi pembelajaran bidang studi PKn, Agama, Sosiologi dan Antropologi, dan atau melalui metode pembelajaran cooperative learning, contextual learning, dan sebagianya. Sedangkan di Perguruan Tinggi, secara substansif, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam kurikulum yang berlandaskan konsep multikulturalisme, misalnya melalui mata kuliah Kewarganegaraan, ISBD, Agama dan Bahasa.
Beberapa aspek yang menjadi kunci dalam melaksanakan kurikulum multikultur dalam struktur sekolah adalah tidak adanya kebijakan yang menghambat toleransi, termasuk tidak adanya penghinaan terhadap ras, etnis dan jenis kelamin. Juga, harus menumbuhkan kepekaan terhadap perbedaan budaya, di antaranya mencakup pakaian, musik dan makanan kesukaan. Selain itu, juga memberikan kebebasan bagi anak dalam merayakan hari-hari besar umat beragama serta memperkokoh sikap anak agar merasa butuh terlibat dalam pengambilan keputusan secara demokratis.
E. Penutup
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dengan proses desentralisasi pendidikan yang melibatkan peran serta masyarakat mengisyaratkan pengakuan terhadap manusia Indonesia dan masyarakat setempat (konsep otonomi daerah). Ini berarti Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional ditinjau dari persepektif filosofis mulai beranjak dari suatu paradigma baru pendidikan menuju pada pengakuan terhadap aspirasi masyarakat dan individu. Maka dengan sendirinya, paradigma baru dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional mulai mengacu pada pendidikan multikultural yaitu mengakui adanya kebudayaan beragam dalam suatu masyarakat yang tetap merupakan kesatuan ”Bhineka Tunggal Ika”. Demikian kebutuhan pembelajaran individu berada dalam perbedaan realitas sosio-historis, sosio-ekonomis, suku-bangsa, sosio-psikologis. Artinya akan dihadirkan populasi sasaran beragam dalam konteks sistem pendidikan dan persekolahan.
Kepustakaan
Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset
Gandhi, Teguh Wangsa. 2011. Filsafat Pendidikan: Mazhab-Mazhab Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Hamalik. 2003. Multikulturalisme Indonesia. http:/kongres.budpar/. go.id. Diakses tanggal 10 Nopember 2011
H.A.R. Tilaar. 2004. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta
H.A.R. Tilaar. 2004. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grassiondo
Muslich, Masnur. 2008. KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual. Jakarta: Bumi Aksara
Nasution, S. 1999. Asas-asas Kurikulum. Bandung: Jemmars
O’neil, William F. 2008. Ideologi-Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tim Dosen FIP UNESA. 2005. Refleksi Pendidikan Masa Kini. Surabaya: Unesa Press
0 komentar:
Posting Komentar